Ekonomi Indonesia kini disebut memiliki tantangan lain selain pandemi COVID-19. Timbulnya krisis energi hingga pangan imbas dari sejumlah kejadian di global ikut menyeret masalah baru ke ekonomi dalam negeri.
Masalah itu menciptakan masalah-masalah baru seperti krisis pangan sampai ancaman krisis energi. Kemudian suku bunga serta inflasi juga turut mempengaruhi pergerakan roda ekonomi dunia termasuk Indonesia.
Kali ini Blak-blakan akan membahas tentang kondisi ekonomi Indonesia, bagaimana antisipasinya dan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi tekanan baru. Bersama ekonom senior Faisal Basri, Blak-blakan juga membahas polemik Kereta Cepat hingga harga BBM di Indonesia. Berikut kutipan wawancaranya:
Bagaimana menurut Anda, antisipasi apa yang harus dilakukan oleh Indonesia? Apakah kita aman-aman saja?
Kalau kita lihat fondasinya cukup kuat untuk menghadapi terjangan yang berat itu. Fondasinya kita lihat dari berbagai faktor jadi misalnya pertama jantung kita cukup kuat nggak ya?
Apakah kita sehat?
Nah jantung itu di dalam ekonomi, itu sektor keuangannya. Faktor keuangan itu gampang merembes kan ke berbagai tempat. Nah kalau kita lihat sektor keuangan kita masih lebih lemah dari kondisi sebelum krisis. Dari kemampuannya menyalurkan kredit.
Sebelum pandemi maksudnya?
Sebelum krisis 98. Jadi sebelum krisis 98 itu bisa mencapai 68% penyaluran kredit itu terhadap PDB, sekarang cuma 40-an persen. Jadi masih jauh. Jadi kita kalau mau cepat susah. karena itulah ada tren penurunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dari waktu ke waktu secara konsisten sampai sekarang.
Nah karena jantungnya nggak pernah dibenahi gitu ya. Kemudian kalau kita lihat tekanan darah tinggi itu kalau di ekonomi suku bunga. Kalau suhu perekonomian itu inflasi.
Nah kalau kita lihat suku bunga kita acuannya 3,5%. Sudah sejak tahun lalu tidak pernah naik. Nah sementara Indonesia ini terbuka, uang bebas keluar masuk.
Hampir semua negara sudah menaikkan, kalau kita tidak menaikkan sampai seberapa jauh contohnya seperti kemarin itu terjadi capital outflow ya? Bukan pelarian modal sih, arus keluar aja. Arus keluar uang itu besar sekali di pasar saham.
Belum balik sampai sekarang kan?
Kemarin sih. Pelan-pelan? Tapi secara year to date dari 1 Januari sampai sekarang masih positif tapi tinggal Rp 52 triliun kalau nggak salah. Nah kemudian kalau kita lihat ekspor naik tapi rupiah melemah terus. Hari ini ditutup Rp 14.929. Jadi waktu Pak Jokowi pertama kali jadi presiden Rp 11.000 tuh, jadi trennya melemah terus.
Nah karena apa? Kan itu harusnya jadi darah baru, ekspor meningkat uang masuk, ternyata sebagian saja yang masuk, sisanya di parkir di luar karena ada yang headquarter-nya ada di Singapura, gitu yang dihapus sendiri oleh pemerintah itu.
Nah kemudian oleh karena itu darah kita belum cukup. Sudah darah belum cukup, jantung lemah, kan dilihat oleh luar ya udah Indonesia ini untungnya di Indonesia makin kecil bukan rugi ya, untungnya makin kecil untungnya kalau saya taruh di luar.
Jadi tinggal tunggu waktu saja akan terjadi ancaman akibat penguatan nilai dolar AS terhadap hampir semua mata uang. Nah orang kan nanya ‘Kan Amerika resesi, Amerika perang, Amerika butuh uang banyak, kok mata uangnya menguat?’
Nah orang tidak paham the power of US dollar itu ya, 60% dalam perdagangan dunia walaupun dia hampir disusul oleh China PDB-nya tapi penguasaan finansialnya masih cukup kuat.
Nah kemudian inflasi yang tidak terhindarkan. Seluruh negara menghadapi masalah inflasi ini rata-rata 8-9% di negara-negara maju, Indonesia kok bisa 4,94%. Tapi tergolong rendah dibandingkan yang lain. Apa Indonesia hebat? Ya tidak, karena semua ditahan, hampir semua ditahan.
Jadi minyak ditahan, muncul masalah di sini penyelundupan, ilegal segala macem ditekan di sini muncul di sana. Jadi karena akar masalahnya tidak diselesaikan. Nah jadi tinggal menunggu waktu saja adu kuat Pak Jokowi sendiri mengakui kalau kita tidak naikkan ini subisidinya Rp 502 triliun kata Pak Jokowi. Jadi lebih besar dari warisan Pak SBY dulu kira-kira Rp 360 triliun.
Nah jadi windfall yang kita dapat dari sawit, PPN pendapatan negara melonjak, APBN diperbaharui ya, biasanya APBN diperbaharui itu diturunkan, kalau ini dinaikkan karena dapat windfall Rp 200 triliun – Rp 300an triliun itu bles hilang dengan sendirinya gara-gara kita tidak menaikkan harga energi itu.
Kemarin Pak Jokowi notice subsidi kita Rp 502 triliun. Negara lain sudah menaikkan, Pak Jokowi bilang sudah ada yang Rp 30 ribu. Kita masih sempat bertahan dengan angka yang sekarang, sebenarnya sehat atau nggak?
Sangat tidak sehat. Coba bayangkan kalau uang sebanyak itu, itu digunakan untuk pemberdayaan rakyat di bawah. Katakanlah dikasih Rp 1 juta/bulan/keluarga selama 6 bulan ke depan.
Orang miskin kita berkurang ya?
Orang miskin kita berkurang dan daya beli naik, karena upahkan tidak naik sehingga aktivitas belanja tetap jalan. Karena kalau kita lihat sekarang yang melemah itu lapisan bawah kelas menengah masih oke-oke saja karena kelas menengahnya didoping oleh harga BBM yang murah, PPnBM buat orang miskin juga eh PPnBM dihapuskan, kemudian macam-macamlah, tarif listrik baru dinaikkan sedikit, macam-macamlah diuntungkan dalam situasi seperti ini.
Nah sementara kelas bawahnya sudah makan tabungan, tercermin dari data simpanan masyarakat yang ada di bank yang jumlahnya kurang dari Rp 100 juta itu kategori terendah. Jadi ada 10.000 juga barangkali, ada 100.000 gitu, yang di bawah Rp 10 juta itu jumlah rekeningnya ada 98%. Jadi hampir semua di bawah 10 juta.
Tapi dari segi nilainya turun terus dari 14mnjolp ke 13 tinggal 12 gitu. Nah sementara yang di atas Rp 5 triliun kategori tertinggi.
Berarti cuma 2%?
Tidak, nol koma nol, karena angkanya cuma satu di belakang koma jadi nggak keluar jadi nol koma nol. Nah si nol koma nol ini sumbangannya udah 51,2% dalam total nilai dan dia naik terus dan naiknya tajam gitu. Nah jadinya kan ini ironi yang membuktikan betapa pentingnya mengamankan 52,8% rakyat Indonesia yang kategorinya miskin, nyaris miskin, dan rentan miskin ini. Mereka tidak punya.
Konsumsi di BBM itu kecenderungannya yang menikmati rata-rata memang kelas menengah ya?
Menengah atas. Orang miskin nggak punya motor sekalipun apalagi mobil. Nah jadi uangnya nggak sampai Rp 100 triliun itu kalau kita bagi-bagi ya ke orang ya. Di Amerika Serikat (AS) juga dikasih cek waktu zaman pemilunya Donald Trump kemarin kan.
Nah itu sarannya Bang Faisal gimana? Apakah harus dinaikkan sejalan dengan, jangan-jangan nanti dampaknya bisa lebih, dampak sosial lah gitu dampaknya bisa dinaikkan harga BBM?
Oke, terjadi kenaikan seperti Pak Jokowi sepertinya lupa ya, sebulan setelah Pak Jokowi dilantik yang pertama. Langkah pertama yang dilakukan menaikkan harga BBM.
Dan apa akibatnya? Pak Jokowi leluasa membangun infrastruktur karena ada dana tiba-tiba Rp 250 triliun. Waktu itu Rp 250 triliun banyak sekali, udah cukup bangun ibu kota kalau bangunnya waktu itu ya.
Nah dana itulah yang digunakan untuk menggenjot infrastruktur. Nah kemudian, ada sedikit kenaikan untuk pendidikan serta kesehatan. Pertanyaannya sekarang infrastruktur jalan terus tapi tidak ada dananya kan?
Pinjam akhirnya. Akhirnya pinjam, pinjamannya akhirnya melonjak baik pinjaman pemerintah pusat, maupun pinjaman BUMN yang ditugaskan. Yang paling berat menurut saya Pertamina, PLN karena harga ditahan terus dan yang lebih berat lagi, bukan dari segi uangnya tapi dari bebannya PT KAI.
Yang mengambil alih LRT, dulu lead consortium-nya Wijaya Karya itu kereta cepat. Karena PT KAI sahamnya cuman 25% di sinergi itu 25% KAI, 38% WIKA, 25% lagi PTPN, apa urusannya PTPN sama kereta, kemudian ada satu lagi jasa marga 15% gitu.
Nah sudah ribet di tengah jalan PT KAI dibebani. Nah jadi PT KAI nggak dapat dari APBN. Harus dapat dari APBN kalau nggak salah baru digelontorkan Rp 4 triliun. Kan ada PMN Rp 72 triliun yang diminta Erick Thohir di tengah jalan tahun ini. Jadi seperti itu fokuslah untuk menyelamatkan rakyat itu untuk safety net rakyat (jaring-jaring pengaman rakyat) supaya rakyatnya tidak gelisah, yang saya khawatirkan itu.
Coba bayangkan tidak pernah terjadi seingat saya ya minyak goreng naik harganya dari Rp 18.000 ke Rp 20.000 gitu. Kemudian ada pembagian minyak goreng bersubsidi minyak goreng curah. Antriannya seperti konser musik, padahal itu dari Rp 20.000 ke Rp 25.000 katakanlah tapi berarti sekali kenaikan Rp 5000 itu karena mereka sudah mepet. Mereka mau berkorban waktu untuk antre berjam-jam.
Untuk 5000 itu ya?
Untuk Rp 5000 itu. Itu kan artinya sudah sensitif sekali.
Ini kan masih soal BBM, BBM ini pemerintah berupaya menjaga supaya subsidi tidak jatuh ke tangan yang salah dengan pengaturan-pengaturanlah. Awalnya akan dipakai dengan aplikasi kemudian bergerak sekarang pake cc gitu. Menurut Abang efektif nggak nih? Kalau pengaturan-pengaturan semacam itu? Atau ya sudahlah naikkan saja, kita harus berani gitu.
Naikkan saja, nah tinggal naikkannya itu harusnya 20% bisa kita turunkan jadi 10%. Jadi semua menanggung beban tapi rakyat yang paling bawah itu bebannya bertambahnya paling sedikit kan begitu.
Kalau sekarang kan sangat boleh jadi 70% dinikmati kelas menengah atas sehingga terjadilah jurang miskin, jurang kaya miskin jangan pakai rasio Gini, kalau Gini mah 0,384 itu ketimpangan pengeluaran bukan ketimpangan pendapatan.
Kalau ketimpangan pendapatan tinggi sekali kita. Jadi 1% orang terkaya menguasai 40% kekayaan nasional. Nah jadi, tidak ada negara yang bisa kecuali Venezuela cuek aja presidennya gitu. Tapi tidak ada negara yang menahan. Nah tinggal menahannya itu semaksimal mungkin agar beban rakyat tidak naik. Tidak terlalu melonjak.
Berlanjut ke halaman berikutnya.