Jakarta –
Di tengah ambisi dunia menghilangkan eksistensi batu bara melalui rencana transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan, nyatanya pemerintah Indonesia masih membutuhkan penerimaan negara dari sumber energi fosil yang dianggap sangat berbahaya bagi perubahan iklim ini.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) justru memproyeksikan kenaikan produksi batu bara sekitar 637 juta ton hingga 664 juta ton pada tahun 2022. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor batu bara. Angka proyeksi tersebut meningkat dibandingkan target produksi 2021 sebesar 625 juta ton.
Upaya peningkatan produksi tentu saja sangat bertolak belakang dengan upaya pemerintah dalam menurunkan emisi karbon dari sektor energi. Tak bisa ditampik, industri batu baru merupakan sektor ekonomi penting yang memberikan kontribusi besar terhadap anggaran pemerintah. Bisa dibilang, batubara tidak hanya dipromosikan karena alasan penopang ekonomi nasional, tetapi juga berpengaruh dalam politik daerah dan nasional.
Batu bara mendapat dukungan politik yang sangat kuat sebagai salah satu lumbung pendapatan negara. Tak ayal, godaan mendulang profit dari kenaikan harga batu bara membuat pemerintah sulit lepas dari ketergantungan pada batu baru sebagai salah satu motor penggerak ekonomi negara. Apalagi pandemi Covid-19 belum berakhir, tentu saja pemerintah masih menjadikan batu bara sebagai salah satu bahan bakar pembangkit ekonomi yang terpuruk akibat pandemi.
Ironisnya, meski tercatat sebagai salah satu produsen dan eksportir utama batu bara dunia dan menjadi salah satu negara dengan rencana penambahan kapasitas tenaga batu bara terbesar di dunia, 8% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 20 juta penduduk masih hidup tanpa akses listrik.
Namun, dilema besar yang harus dihadapi adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara yang masif merupakan ancaman besar bagi target pengurangan karbon Indonesia. Hal ini merupakan hambatan dalam upaya dekarbonisasi. Jika target iklim internasional ingin dicapai, pembangkit listrik tenaga batu bara disepakati perlu dihapus secara bertahap.
Kontradiksi antara tujuan untuk mengurangi emisi karbon sambil tetap menggalakkan penggunaan batu bara menimbulkan pertanyaan besar, alasan mendasar apa yang mendorong pemerintah tetap mengandalkan batu bara sebagai salah satu sumber energi nasional?.
Kekuatan Politik
Secara statistik, realisasi kebutuhan batu bara dalam negeri menyentuh 121,3 juta ton atau 88,2 persen dari target 137,5 juta dan akan terus meningkat hingga tahun 2022. Sementara itu, Kementerian ESDM mencatat PNBP minerba telah mencapai Rp 70,05 triliun hingga 10 Desember 2021. Angka itu telah menembus 179,14 persen dari target sebelumnya, yakni Rp 39,1 triliun.
Di sisi lain, investasi subsektor mineral dan batu bara telah mencapai USD 3,5 miliar, atau 81,3 persen dari target USD 4,3 miliar. Adanya insentif yang kuat membuat batubara tetap bertahan sebagai salah satu pembangkit ekonomi utama, karena royalti secara signifikan berkontribusi pada APBN dan APBD.
Kekuatan politik juga sangat menentukan terkait prevalensi bahan bakar fosil dalam sistem energi Indonesia, meskipun harga bahan bakar fosil berfluktuasi, dinamika isu lingkungan dan retorika pertumbuhan hijau dalam rencana kebijakan yang terus digaungkan, tetap saja pemerintah tak bergeming dan terus meningkatkan produksi batu bara. Tekanan politik internal cukup berpengaruh terhadap eksploitasi sumber daya fosil domestik kita.
Konsistensi produksi batu bara tak lepas dari mempertahankan kepentingan ekonomi politik nasional. Penyediaan listrik yang murah dan melimpah dipandang pemerintah sebagai prasyarat untuk menarik investor dan mendorong industrialisasi negara, karena pembangkit listrik tenaga batu bara dianggap sebagai sarana termurah untuk memasok kebutuhan listrik nasional.
Namun, sebab kendala fiskal, pemerintah enggan menambah subsidi tarif listrik untuk mengurangi beban keuangan negara. Tercermin dari kebijakan PLN yang secara bertahap menaikkan tarif listrik sebagai bagian dari reformasi subsidi energi yang lebih luas.
Sejalan dengan reformasi BUMN, anggaran subsidi PLN yang terus dikurangi, karena selama ini, tarif listrik yang ditetapkan membebani keuangan PLN dan PLN telah melobi Kementerian ESDM untuk membantu mengurangi beban tersebut. Maka lahirlah kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), yang menetapkan bahwa batubara dalam negeri harus dijual kepada PLN dengan harga maksimum USD 70 per ton untuk menjaga harga batu bara tetap terjangkau.
Keterjangkauan harga batu bara juga menjadi alasan mengapa EBT (Energi Baru Terbarukan) belum bisa menjadi energi substitusi secara penuh. Memang harus diakui, meski biaya pengembangan EBT saat ini lebih murah, tetap saja pembiayaan proyek EBT di Indonesia jauh lebih mahal daripada batu bara, terutama untuk pemasok listrik swasta atau IPP (Independent Power Producer) yang menanggung tingkat bunga tinggi lebih atas utang untuk proyek mereka.
Tak hanya itu, risiko politik masih menjadi momok bagi kemajuan EBT dan menjadi hambatan terbesar untuk meningkatkan pembiayaan proyek EBT. Selain itu, bank domestik juga dianggap kurang berpengalaman dengan proyek EBT.
Saatnya Reformasi
Kesadaran soal eksternalitas substansial batu bara masih sangat rendah, baik yang berkaitan dengan perubahan iklim dan isu strategis yang melekat. Selama ini masyarakat memiliki resonansi dan kekuatan politik yang sangat terbatas di ruang publik. Oleh sebab itu, reformasi kelembagaan yang diperlukan untuk mengatur sektor energi Indonesia secara berkelanjutan agar tidak mudah ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Reformasi pengelolaan listrik yang lebih independen dapat mengurangi pengaruh negatif dari para elite politik. Karena elite politik memperoleh keuntungan yang cukup besar dari penggunaan batu bara, langkah-langkah mitigasi perubahan iklim diperkirakan akan menghadapi perlawanan politik yang cukup sengit. PLN mungkin saja akan kesulitan menaikkan harga listrik, yang dijaga tetap rendah untuk memastikan popularitas politik bagi pejabat terpilih, kebijakan perubahan iklim yang berpotensi menaikkan harga listrik juga dapat menghadapi hambatan substansial.
Skema dukungan, seperti feed-in-tariff, dapat mengatasi hambatan tersebut, dan memungkinkan perusahaan energi yang telah melakukan diversifikasi, atau ingin mendiversifikasi portofolio teknologi mereka, untuk mulai menempatkan EBT sebagai prioritas mereka. Hal ini juga akan mengurangi rente batu bara dari aktor-aktor berpengaruh secara politik, yang mungkin melobi untuk menentang kebijakan yang tidak menguntungkan bagi mereka.
Untuk mendapatkan dukungan politik yang kuat, beberapa bentuk kompensasi mungkin diperlukan misalnya dengan menekankan bagaimana nilai tanah milik mereka dapat meningkat jika proyek EBT terletak di atasnya. Strategi politis seperti itu perlu dievaluasi secara hati-hati dalam kaitannya dengan keadilan dan kesetaraan untuk mencegah aktor-aktor kuat menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Oleh sebab itu, keberhasilan implementasi kebijakan mitigasi iklim di sektor energi akan bergantung pada dua faktor. Pertama, diperlukan pembatasan pengaruh politik industri batu bara dengan mereformasi struktur tata kelola PLN, mempercepat pemberantasan korupsi, dan meningkatkan regulasi dan kapasitas di bidang ketenagalistrikan.
Kedua, sejauh mana sebuah kebijakan bisa mempengaruhi industri batu bara secara keseluruhan. Para pembuat kebijakan dapat mengatasi aspek ini dengan memperkuat desain kebijakan dan meminimialisasi dampak spesifiknya dengan skema kompensasi langsung maupun tidak langsung untuk meredakan resistensi politik oleh pihak-pihak yang akan dirugikan dari pengurangan utilitas batu bara di Indonesia.
(mmu/mmu)