Jakarta –
Terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Muktamar ke-34 menghadirkan optimisme akan bangkitnya ekonomi keumatan. Sebagaimana tema muktamar yakni ‘NU Mandiri, Indonesia Bermartabat’, isu kemandirian ekonomi memang telah lama jadi perhatian organisasi ini. Salah satunya dibuktikan dengan gerakan Koin Muktamar yang digunakan untuk pembiayaan Muktamar ke-34 di Lampung tahun 2021. Nahdliyin dari Jawa Timur berhasil menjadi penyumbang terbesar dengan jumlah dana terkumpul sejumlah Rp2,9 Miliar.
Potensi besar ekonomi keumatan dari kalangan nahdliyin ini mendapatkan sorotan dari Menteri BUMN yang juga Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Erick Thohir. Dalam keterangan tertulis Jumat, 24 Desember 2021, Erick yakin di bawah kepemimpinan Gus Yahya, NU akan terus menghidupkan pemikiran Gus Dur dalam membesarkan ekonomi keumatan.
Teknologi, Pandemi dan Tantangan Ekonomi
Pandemi dan disrupsi teknologi menjadi dua tantangan besar di abad 21 terkait pertumbuhan ekonomi. Di awal revolusi industri, kehadiran internet membuat berbagai layanan komersial perlahan melangkah menuju dunia digital. Kemunculan pandemi COVID-19 yang tiba-tiba seakan jadi roket yang membawa kita semua melesat tanpa ampun menuju dunia digital. Di sinilah pentingnya peran generasi Y untuk menjadi agen percepatan bisnis konvensional ke bisnis digital. Generasi Y adalah individu yang lahir antara tahun 1980 hingga 2000. Menurut berbagai penelitian, generasi Y atau disebut juga generasi milenial memiliki karakter inovatif, mudah beradaptasi dengan perubahan dan memiliki pengetahuan intuitif terkait teknologi.
Di dalam organisasi NU, generasi ini antara lain diwakili oleh Gerakan Pemuda Ansor atau disingkat GP Ansor. Dengan cabang yang tersebar di 34 kota besar di tanah air, organisasi kepemudaan ini telah teruji sepak terjangnya di bidang sosial budaya dan keagamaan. Selain itu ada juga organisasi NUCircle yang lahir di tahun 2008. Paguyuban ini mengumpulkan kelompok profesional dari kalangan nahdliyin untuk memadukan antara nilai kesantrian, praktik sains-teknologi, etos manajemen modern dan etika publik. Kegiatan utama NUCircle antara lain Santri Pemberdaya atau Sandaya yang menjadikan para santri sebagai pendamping ibu pra sejahtera dalam membuka akses pembiayaan ekonomi mikro. Lalu ada juga program yang fokus mengajak milenial memasuki dunia pertanian melalui pendekatan baru berbasis teknologi 4.0 yakni program Santri Tani. Sementara itu program Santri Puan merupakan model skema pembiayaan di bidang ekonomi mikro, dengan mengadopsi skema yang dikembangkan Muhamad Yunus melalui Grameen Bank. Rekam jejak inilah yang kemungkinan besar membuat Presiden Joko Widodo berani menawarkan konsesi bisnis untuk para santri muda dari NU, saat membuka gelaran Muktamar NU ke-34 di Lampung beberapa waktu lalu. Sebuah peluang yang harus diperhitungkan dengan matang.
DNA Ekonomi NU di Masa Lalu
Organisasi NU di masa kini terlihat lebih kental bernuansa sosial politik dan keagamaan dibanding ekonomi. Padahal dalam sejarah, berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama tidak lepas dari tiga pilar utama yakni tradisi keagaman, nasionalisme dan kekuatan ekonomi. Tradisi keagamaan diwakili oleh organisasi Taswirul Afkar, nasionalisme diwakili oleh Nahdlotul Waton, dan kekuatan ekonomi diwakili oleh Nahdlotut Tujjar sebagai media pemberdayaan ekonomi. Ketiga organisasi ini lahir di abad ke-19 dan melebur jadi satu dalam payung besar Nahdlatul Ulama. Karena itu upaya NU di bawah kepemimpinan Gus Yahya untuk fokus pada upaya kemandirian ekonomi sejatinya adalah semangat kembali ke khittah organisasi.
Di masa lalu Nahdlatut Tujjar merupakan gerakan ekonomi yang berfungsi menguatkan sendi-sendi perekonomian rakyat. Gerakan ini berawal dari kumpulan ulama yang juga pedagang dari episentrum dagang abad 19. Dalam mencapai tujuan tersebut, dibentuklah berbagai usaha bersama seperti koperasi dan pengembangan usaha kecil. Dalam buku berjudul “Menggerakkan Nahdlatut Tujjar” karya tokoh muda NU Adien Jauharudin, berhasil dilacak sejarah pergerakan ekonomi oleh para tokoh agama di masa lalu. Ia menuliskan bahwa kota Surabaya, Kediri dan Jombang menjadi episentrum perdagangan para tokoh agama yang juga seorang pedagang. Gerakan ekonomi ini didasari pemikiran bahwa apabila simpul kemandirian ekonomi tidak dibangun, bangsa ini akan terus terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan akibat kuatnya pengaruh kolonial.
Yang paling menarik dari gerakan ini adalah, sebagaimana dijelaskan oleh sang penulis, sejak awal berdiri organisasi Nahdlatut Tujjar ternyata sudah menerapkan manajemen organisasi modern. Ada struktur organisasi dan pembagian kerja yang jelas antar para pimpinan serta bawahan. Selain itu, skema investasi yang dijalankan juga berupa bagi hasil atau profit sharing. Selanjutnya di tahun 1937, konsep koperasi muncul kala Ketua Tanfidz NU, KH. Mahfoedz Siddiq mendirikan koperasi Syirkah Mu’awwanah. Koperasi ini menjual hasil produksi pertanian serta usaha kecil lain seperti pakaian, rokok dan sajadah dari anggota koperasi dengan sistem bagi hasil. Koperasi ini juga memberikan bantuan pengembangan keterampilan bisnis serta syarat keanggotaan yang mudah.
Beberapa pesantren NU juga sudah menerapkan konsep ini untuk memberdayakan para santri, seperti Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Nurul Jadid di Paiton Probolinggo dan lainnya. Upaya pendanaan juga sudah mulai dibangun, misalnya tahun 1990 dibentuk Bank Nusumma yang bekerjasama dengan Bank Summa. Di masa reformasi juga NU aktif bekerjasama dengan pemerintah dalam program-program pembiayaan usaha mikro seperti kredit usaha tani. Namun upaya ini tidak berlanjut karena turbulensi ekonomi politik di masa lalu.
NU-Nomics dan Peran Generasi Y
Sejarah panjang pergerakan ekonomi NU ini tentu menjadi bekal berharga di era modern yang serba digital ini. Pandangan pesimistis terhadap globalisasi menuding bahwa era ini hanya akan mengukuhkan hegemoni budaya negara-negara adikuasa terhadap negara berkembang. Terbukti dengan munculnya trend mode ala Barat atau yang hits saat ini yakni Korean Wave. Namun Thomas L. Friedman dalam bukunya berjudul “The World is Flat: A Brief History of the Twenty-first Century” (2005) berpandangan lain.
Menurutnya potensi sebuah ide atau budaya lokal untuk dikenal dunia sama besarnya antara satu wilayah dengan wilayah lain. Hal ini karena sifat internet yang cenderung egaliter, interaksional serta memungkinkan seorang individu membuat publikasi langsung asalkan memiliki akses ke jaringan internet. Di tangan individu yang inovatif, perkembangan teknologi digital justru akan menghadirkan globalisasi lokal.
Ini berarti dengan ‘terlipatnya’ ruang dan waktu di dunia maya, budaya dan ekonomi lokal berpotensi mendunia dalam hitungan detik saja dengan probabilitas sama besar antar satu wilayah dengan lainnya. Karena itu menurut teori ini, peluang durian bawor asal Banyumas seharusnya sama besar dengan peluang durian monthong asal Thailand dikenal di seluruh penjuru dunia.
Kita patut bersyukur, di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo upaya percepatan ekonomi dilakukan dari berbagai arah. Mulai dari skema bantuan pembiayaan ekonomi mikro, konektivitas transportasi melalui pembangunan jalan tol di berbagai wilayah di tanah air, hingga pelatihan-pelatihan ekonomi melalui program kartu Prakerja. Warga NU terutama generasi mudanya cukup membantu pemberdayaan ekonomi umat dari sisi teknologi. Sebagai generasi yang tumbuh dikelilingi oleh teknologi, generasi Y atau milenial terbukti lebih bisa beradaptasi dengan dunia digital. Kemampuan inilah yang bisa menjadi faktor pendorong transisi dari ekonomi konvensional ke ekonomi digital. Generasi muda NU bisa memanfaatkan konsep sharing economy yang merupakan evolusi terkini dari konsep ekonomi inklusif. Sharing economy merupakan payung besar dari model ekonomi yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni akses ekonomi, platform ekonomi digital dan ekonomi berbasis komunitas.
Saya membayangkan dengan kekuatan besar generasi muda NU, akan muncul koperasi-koperasi pesantren online yang mampu menjangkau potential market yang lebih luas. Lalu muncul juga platform jual beli digital khusus hasil bumi seperti beras, kentang, bawang merah hingga produk perikanan yang menampung hasil produksi unggulan pegiat ekonomi dari kalangan nahdliyin. Dengan semangat kebersamaan 40 jutaan lebih warga Nahdliyin, bukan mustahil gerakan NU-nomics ini bukan saja menggerakkan ekonomi umat tapi juga ekonomi Indonesia secara umum. Semoga.
Rahmat Sahid, Bendahara Lakpesdam PWNU DKI Jakarta, Penulis buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno, buku Pak Taufiq dan Bu Mega, buku Puan Maharani, dan beberapa buku biografi tokoh lainnya. Ia juga aktif sebagai periset dan konsultan komunikasi
(ega/ega)