Jakarta –
Pandemi belum sepenuhnya berakhir. Meskipun oleh sejumlah negara COVID-19 mulai diposisikan sebagai epidemi, dan dampak infeksinya tidak separah pada periode awal, namun COVID-19 harus kita waspadai sebagai bahaya laten non ekonomi. Belum berakhir tekanan ekonomi akibat COVID-19, kita dihadapkan lagi dengan kenyataan ketegangan di Ukraina. Dampaknya ekonominya juga tidak kalah luas. Berbagai harga komoditas utama dunia langsung membubung tinggi, terutama minyak dan gas, ditambah ancaman kelangkaan stok.
Krisis ekonomi yang kita hadapi belakangan ini justru muncul dari faktor faktor non ekonomi. Situasi inilah yang sulit untuk diterka oleh banyak ekonom. Pandemi dan perang sebelumnya tidak masuk kalkulasi dari banyak pemerintahan diberbagai negara, situasi itu memaksa fiscal authority untuk merumuskan ulang kebijakan fiskal mereka, termasuk kita. Semua mempersiapkan diri kebijakan fiskal yang adaptif dalam merespon situasi yang terjadi. Dan hal itu bukanlah perkara mudah, sebab basis persoalannya bukan dari faktor ekonomi. Jadi kalau Presiden Jokowi dan Kanselir Jerman Olaf Scholz serta Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida saling curhat, pening menghadapi hal ini tentulah sangat manusiawi.
Ketidakpastian eksternal ini memaksa kita untuk senantiasa cermat dan akurat dalam menyusun kebijakan fiskal. Kita tidak bisa mengandalkan satu pendekatan kebijakan fiskal untuk mengatasi beragam masalah. Pendek kata, kita memerlukan kebijakan fiskal yang discretionary, sekaligus kebijakan fiskal pasif (built in stabilizer). Bekal kita perlu terus disiplin menggunakan belanja yang produktif, mendorong basis ekspor makin luas, memanfaatkan momentum untuk kenaikan harga komoditas dunia yang menjadi andalan kita. Di dalam negeri terus menjaga daya beli rumah tangga, khususnya lapisan bawah dengan sokongan program perlindungan sosial yang tepat.
Pada sisi penerimaan, kita perlu terus melakukan reformasi sektor perpajakan agar postur perpajakan kita makin kompatibel dengan struktur ekonomi kita. Harapan inilah yang ingin diraih dengan diundangkannya Undang-Undang No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (HPP). Sebelum pandemi, atau saat ekonomi normal, tax gap kita masih tinggi, yakni di level 8,50 persen, posisi yang sangat tinggi kalau kita menggunakan standar OECD sebagai benchmark internasional. Standar OECD di level 3,6 persen.
Kita membutuhkan tax ratio yang sepadan dengan negara negara tetangga kita, di kisaran 14-17 persen. Namun perburuan kita menaikkan tax ratio tidak memberikan beban yang berat kepada para pelaku usaha di tengah situasi ekonomi yang masih belum pulih. Undang-Undang HPP memberikan payung hukum bagi pemerintah untuk cermat memperluas basis pajak, dan presisi dalam menjalankan tarif perpajakan. Kelenturan kebijakan perpajakan dalam UU HPP dapat dimanfaatkan pemerintah menjalankan insentif dan disinsentif perpajakan.
Saya memberikan apresiasi atas kinerja pemerintah dalam mengelola APBN. Pada Januari 2022 APBN kita surplus Rp 28,9 triliun. Jumlah ini naik 163,5% dari periode sama tahun 2021, di mana APBN Indonesia mengalami defisit sebesar Rp 45,5 triliun. Namun kita masih menghadapi situasi agak gawat sejak akhir Februari lalu hingga kini, karena makin melonjaknya minyak dan gas bumi, dan beberapa komoditas lainnya. Dampaknya akan sangat serius terhadap APBN kita ke depan.
Merespons perkembangan global, dan pengaruhnya terhadap ekonomi kita di dalam negeri, saya menyarankan kepada pemerintah mengambil langkah langkah penting, antara lain:
– Mengamankan pasokan stok dengan negara-negara eksportir atas berbagai komoditas utama kita yang dipasok dari impor. Kelangkaan minyak goreng harus menjadi pelajaran serius bagi pemerintah. Suplai minyak dan gas kita sebagian besar dari Arab Saudi, Singapura, Malaysia, Uni Emirat Arab, Nigeria, dan Amerika Serikat. Sejauh ini hanya Uni Emirat Arab yang menyanggupi penambahan kapasitas produksi minyaknya ke pasar global. Pemerintah perlu memastikan kepada negara-negara tersebut, termasuk mencari alternatif, misalnya dari Venezuela dan Iran, meskipun keduanya tengah dalam sanksi Amerika Serikat.
Pemerintah perlu memastikan kepatuhan hedging kepada sejumlah badan usaha yang menjalankan impor, baik BUMN maupun swasta. Tingginya harga komoditas yang kita dapatkan dari impor potensial memberi tekanan kepada nilai tukar mata uang kita. Depresiasi terhadap rupiah akan berdampak pada beban meningkatnya beban dan bunga utang valas pemerintah dan swasta.
– Bank Indonesia (BI) mengungkapkan IKK Februari 2022 turun menjadi 113,1 dibandingkan Januari lalu sebesar 119,6. Angka ini tentu belum memasukkan data Maret 2022 karena masih berjalan. Padahal di Maret 2022 inilah lonjakan harga migas makin tinggi. Besar kemungkinan pada Maret 2022 angka inflasi akan naik, khususnya pada sektor makanan, minuman, listrik dan BBM. Merespons situasi ini pemerintah perlu menambah alokasi plafon anggaran perlindungan sosial (perlinsos) Anggaran perlinsos telah ditetapkan sebesar Rp 154,8 triliun. Program ini efektif sebagai social stabilizer, sebab menjangkau 37,9 juta pelanggan listrik tersubsidi, 8 juta metric ton LPG 3 Kg, 7,5 juta keluarga penerima BLT di pedesaan, 10 juta keluarga penerima PKH, 18,8 juta keluarga penerima kartu sembako, 20,2 juta siswa penerima KIP, dan 96,8 juta keluarga penerima PBI JKN. Saya mendukung penambahan plafon program perlinsos ini hingga Rp 15-17 triliun.
– Satgas Pangan terus melakukan monitoring dan operasi pasar dengan sigap, mengantisipasi upaya penimbunan stok, permainan harga, dan ketidakpatuhan atas pelaksanaan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) beberapa komoditas, terlebih lagi sebentar lagi kita akan melaksanakan Puasa dan Ramadhan hingga lebaran Mei nanti yang kebiasaanya permintaan atas barang konsumsi makin tinggi. Untuk itu, Satgas Pangan dibantu aparat penegak hukum dalam hal ini jajaran kepolisian dari atas sampai jajaran Polsek di Kecamatan harus ikut melakukan pengawasan guna memastikan distribusi bahan pangan benar-benar tersedia di masyarakat.
– Pada awal Maret 2022 ini Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak telah tembus Rp 21,44 triliun, meningkat dari Februari 2022 sebesar Rp 18,72 triliun. Untuk harga yang diniatkan investasi pada sektor energi, pemerintah agar melakukan percepatan investasi energi, khususnya energi terbarukan. Setidaknya dalam waktu dekat ini sudah bisa merealisasikan program B40 untuk mengurangi ketergantungan pasokan minyak impor.
– Mendorong peluasan basis ekspor, terutama komoditas yang memang bisa dijalankan dengan cepat. Tahun lalu kita mencatatkan kinerja perdagangan yang positif akibat kenaikan harga komoditas ekspor andalan kita seperti; kelapa sawit, batu bara, dan berbagai komoditas rempah rempah. Terlebih lagi Undang Undang HPP memberikan insentif pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang dan jasa ekspor. Tujuan dari pembebasan ini pada UU HPP untuk mendorong kontribusi ekspor kita makin besar dalam struktur PDB kita yang masih didominasi konsumsi rumah tangga sebesar 54 persen. Selain itu akan menebalkan cadangan devisa kita.
– Memberlakukan kebijakan kenaikan PPN 11 persen secara selektif. Terhadap barang barang konsumsi strategis seperti BBM, dan bahan pangan impor yang harganya sedang tinggi, pemerintah perlu menimbang kenaikan tarif PPN 11 persen. Sebagai ganti kekurangan penerimaan PPN terkait hal ini, pemerintah dapat menggunakan ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU HPP untuk menaikkan PPN diatas 11 persen terhadap barang kena PPN lainnya.
Kiranya pertimbangan ini dapat menjadi masukan yang produktif bagi kebijakan pemerintah.
Ketua Badan Anggaran
Dewan Perwakilan Rakyat
MH Said Abdullah
(jbr/fjp)