Jakarta –
Secara substansi holdingisasi sebenarnya telah terbentuk sejak berdirinya KBUMN sebagai pembina BUMN. Yang membedakannya hanya KBUMN berstatus lembaga pemerintah bukan berstatus badan usaha atau perseroan terbatas. Dalam pembentukan holding BUMN, tentunya kepentingan pemegang saham, dalam hal ini negara atau pemerintah, merupakan pertimbangan yang menjadi prioritas utama.
UU No. 19 tahun 2003 telah menggariskan beberapa tujuan pembentukan BUMN. Pertama, BUMN berkontribusi bagi perkembangan perekonomian dan penerimaan negara. Kedua, memperoleh keuntungan. Ketiga, BUMN memberikan kemanfaatan umum, menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Keempat, BUMN melaksanakan kegiatan perintis yang sektor swasta dan koperasi belum dapat melaksanakannya. Terakhir, BUMN dimaksudkan turut aktif membina dan membantu pelaku usaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Beberapa tujuan tersebut di atas adalah pembeda antara BUMN dengan perusahaan swasta yang fokus pada maksimalisasi nilai aset pemegang saham. Hal yang wajar ada pembeda, sekiranya tidak ada, maka sangat rasional untuk dipertimbangkan kembali perlu tidaknya negara mempunyai badan usaha.
Penciptaan Nilai Tambah
Pertanyaannya, apakah dengan adanya holdingisasi, kepentingan negara atau pemerintah selaku pemegang saham telah terealisasi dan meningkat? Tentunya holdingisasi bukan satu-satunya solusi, dan baru pintu masuk atau sebagian perjalanan dari sebuah proses, serta masih banyak hal yang perlu dilakukan.
Secara konsep, holdingisasi dimaksudkan untuk menciptakan nilai tambah (added value) pada BUMN dari kondisi sebelumnya. Penciptaan nilai tambah dapat dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah peningkatan daya ungkit (leveraging) permodalan BUMN. Dengan terkonsolidasinya aset dan kewajiban dari anggota holding atau anak perusahaan, perusahaan holding dapat meningkatkan modalnya melalui penambahan utang baik dalam bentuk pinjaman atau penerbitan obligasi baru.
Hal yang wajar bila BUMN didorong untuk menambah modal dengan melakukan utang. Dalam beberapa teori korporasi, penambahan utang dapat dibenarkan. Dalam agency theory (Jensen dan Meckling, 1976), penambahan modal perusahaan melalui utang dapat menambah pengawasan. Sebelumnya pengawasan dilakukan oleh pemegang saham saja, kemudian pengawasan akan bertambah dengan adanya pengawasan dari pihak kreditor sebagai konsekuensi adanya utang. Penambahan pengawasan akan menambah tekanan pada Direksi BUMN sebagai agen Pemerintah untuk mendorong bekerja lebih giat, dan tidak bermalas-malasan.
Dalam trade off theory (Modigliani and Miller, 1963), penambahan utang akan menciptakan penambahan beban bunga. Hal ini berarti akan menambah beban operasional yang dapat digunakan sebagai pengurang pajak (tax shield). Dalam kombinasi utang dan ekuitas tertentu, keberadaan beban bunga dapat meningkatkan earning per share perusahaan. Hal ini dapat dikatakan menguntungkan pemegang saham.
Namun demikian, pemegang saham BUMN adalah pemerintah, yang secara undang-undang diperbolehkan memungut pajak, trade off theory tidak berlaku karena di sisi lain berpotensi mengurangi kepentingan pemerintah selaku pemegang saham, dalam hal ini penerimaan negara dari perpajakan. Namun pandangan yang berbeda bila dilihat dari sudut pandang Direksi BUMN sebagaimana dijelaskan dalam trade off theory di atas.
Signalling theory (Spence, 1973) juga mendukung penambahan modal melalui utang. Didasari prinsip asymmetric information, di mana direksi lebih tahu tentang perusahaan dibandingkan orang luar perusahaan dan karakter utang yang harus dikembalikan ketika telah jatuh tempo, penerbitan utang dapat menjadi signal bahwa risiko perusahaan yang akan dihadapi ke depan lebih kecil.
Berbeda dengan penambahan modal melalui penerbitan saham baru, pihak luar akan menilai bahwa risiko yang akan dihadapi perusahaan ke depan adalah besar. Namun perlu dipahami pula bahwa penambahan utang ada batas maksimalnya. Peningkatan debt to asset ratio yang melebihi batas akan meningkatkan risiko kebangkrutan (financial distress) dan selanjutnya dapat berdampak pada cost of leveraging. Kreditor akan meningkatkan tingkat suku bunga sebagai kompensasi adanya penambahan risiko kebangkrutan akibat naiknya utang.
Selain melalui leveraging penambahan modal melalui utang, dapat dilakukan pula dengan penerbitan saham baru pada anak perusahaan holding (eks BUMN). Pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pemegang sebagian saham atau minoritas. Cara ini dapat dilakukan pada anak perusahaan holding yang bidang usahanya tidak berkaitan erat dengan penyediaan barang dan atau jasa yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat.
Selain itu, pemerintah melalui badan usaha tidak perlu terlibat terlalu jauh dalam bidang usaha tertentu, dengan kata lain mendorong sektor swasta dan mengurangi keterlibatan pemerintah dalam perekonomian. Adanya penyertaan saham masyarakat pada BUMN juga dapat dipandang sebagai sharing risk. Sebagai contoh adalah anak perusahaan BUMN di bidang asuransi, pemerintah tidak menanggung sendirian bila anak perusahaan BUMN mengalami kebangkrutan.
Selain berupa peningkatan kemampuan leveraging, holdingisasi diharapkan dapat menciptakan nilai melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi biaya operasional dan daya saing. Hal ini dapat dilakukan melalui sinergi pemanfaatan aset tetap, strategi pemasaran, dan sinergi supply chain dalam penyediaan barang dan atau jasa kepada masyarakat.
Contoh nyata sinergi dalam pemanfaatan aset tetap dapat terlihat dari keberadaan anjungan tunai mandiri (ATM) yang dimiliki BUMN perbankan, sebuah isu pemanfaatan aset yang pernah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Terlihat beberapa ATM berjejer dalam lokasi yang sama. Kalau dihitung jumlah lokasi dan ATM yang ada diseluruh Indonesia, betapa besarnya biaya capex yang telah dikeluarkan untuk membeli masin ATM. Seandainya dapat diintegrasikan, bisa dibayangkan berapa besar efisiensi yang dapat diperoleh dari penggunaan ATM secara bersama-sama tersebut.
Dalam hal perspektif supply chain, adanya holdingisasi BUMN seharusnya dapat mempermudah terjadinya sinergi supply chain tersebut sehingga menghasilkan nilai tambah dan meningkatkan daya saing. Sebagai gambaran besarnya manfaat dari sinergi supply chain dapat terlihat di bidang logistik. Di sektor ini, telah tersedia PT KAI dan Perum Damri sebagai penyediaan jasa transportasi darat. Terdapat PT ASDP, PT Pelni sebagai penyedia jasa transportasi laut, dan terdapat PT GIA dan PT AP sebagai penyedia jasa transportasi udara.
Karenanya, ketika masyarakat membutuhkan jasa layanan logistik, maka BUMN seharusnya dapat memberikan jasa dengan harga yang kompetitif dan berkualitas. Perlu juga menjadi catatan bahwa implementasi sinergi supply chain tidak untuk menciptakan monopoli berbiaya tinggi. Lebih besar lagi, holdingisasi BUMN dapat menciptakan konglomerasi vertikal dan horizontal sehingga sinergi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi usaha BUMN dapat dilakukan dengan mudah.
Tantangan Holdingisasi
Memperoleh penciptaan nilai dari pembentukan holding pada BUMN bukan hal yang mudah dilakukan. Jauh berbeda dengan holdingisasi di swasta. Potensi Direksi BUMN dan anak perusahaan terjebak pada kepentingan masing-masing relatif besar. Indikator kinerja utama (IKU) yang dibebankan pada direksi dapat terjadi tumpang tindih dan bertabrakan.
Sebagai contoh, BUMN perbankan bersaing memperebutkan nasabah yang sama. Tidak hanya perbankan, pemerintah juga memiliki lembaga keuangan non bank (LKNB) yang juga berpotensi beririsan dengan BUMN sektor keuangan perbankan dan non perbankan lainnya.
Perlu disadari bahwa direksi pada masing-masing badan usaha juga bekerja berdasarkan IKU yang mereka tanggung masing-masing. Salah satu IKU-nya adalah pencapaian laba. Laba adalah titik target utama dari para Direksi karena dari laba inilah para direksi mendapatkan pendapatan atau remunerasi tambahan. Oleh karena itu, besar kemungkinan masing-masing direksi pada BUMN dan atau anak perusahaannya berfokus pada laba sendiri, tidak melihat dampaknya pada BUMN lain dan anak perusahaannya secara keseluruhan.
Hal ini karena dapat menciptakan zero sum game bagi kepentingan pemegang saham, di mana di BUMN satu mengalami keuntungan sedangkan di BUMN lainnya mengalami kerugian. Kalau ditotal secara keseluruhan nilainya zero. Bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi kerugian akibat risiko idle investasi atau aset tetap. Oleh karena, perlunya Pemegang saham BUMN menempatkan diri sebagai manajemen portofolio secara makro agar manajemen BUMN tidak keluar dari kebijakan makro yang telah ditetapkan sehingga menciptakan efektivitas dan efisiensi yang optimal.
Beberapa pihak berpendapat, direksi yang mampu meningkatkan kinerja BUMN dan anak perusahaannya yang sebelumnya sudah dalam kondisi yang sehat merupakan direksi yang biasa-biasa saja. Tetapi direksi yang mampu meningkatkan kinerja BUMN dan anak perusahaan yang sebelumnya sedang dalam kondisi yang tidak sehat adalah direksi yang luar biasa. Tentunya, penunjukan direksi menjadi pekerjaan rumah pula bagi Pemerintah selaku pemegang sahamnya.
Holdingisasi yang efektif dan berhasil menciptakan nilai tambah akan sangat membantu memperkuat fiskal pemerintah. Jangan sebaliknya, keberadaan holding menimbulkan biaya baru, sebelum holding pemerintah dapat dividen dari BUMN, setelah holding tidak ada dividen karena dividen dari eks BUMN diambil oleh holding-nya untuk biaya operasional. Sebagaimana diketahui, khususnya pada tahun anggaran 2023, pemerintah akan menjalankan kebijakan fiskal yang konsolidatif, mengembalikan posisi defisit anggaran refocusing anggaran, dan belanja yang lebih baik.
Dari sisi investasi, pemerintah juga akan melakukan penambahan modal negara pada BUMN secara selektif. Dengan kata lain, ketergantungan keuangan BUMN pada APBN perlu dikurangi dan perlu didorong penciptaan inovasi pemodalan pada BUMN.
Mohamad Nasir analis pada Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal; tulisan ini pendapat pribadi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
(mmu/mmu)