BankTerkini.com – Dalam lima bulan terakhir, Indonesia mengalami tren deflasi yang berkelanjutan. Namun, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menegaskan bahwa deflasi ini tidak mencerminkan penurunan daya beli masyarakat. Menurutnya, deflasi lebih dipengaruhi oleh komponen harga bergejolak (volatile food), bukan inflasi inti yang menjadi indikator daya beli.
“Deflasi yang terjadi bukan karena daya beli masyarakat melemah, tetapi karena harga komoditas tertentu yang fluktuatif. Inflasi inti, yang menjadi penanda daya beli, masih mencatatkan inflasi hingga September 2024,” kata Susiwijono dalam pernyataannya di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (2/10).
Meski demikian, kekhawatiran terkait dampak deflasi terhadap daya beli tetap muncul dari kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menyatakan bahwa meskipun deflasi terjadi pada komponen harga bergejolak, efeknya pada tingkat konsumsi masyarakat patut dicermati.
“Kami khawatir ini bisa berdampak pada daya beli masyarakat, yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Shinta usai sarasehan bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di Menara Kadin, Rabu (2/10). Shinta menambahkan bahwa konsumsi domestik merupakan faktor kunci dalam menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama terlihat dalam indikator Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), komponen harga bergejolak mencatat deflasi sebesar 1,34 persen pada September 2024, dengan kontribusi terhadap inflasi umum sebesar 0,21 persen. Komoditas utama yang berpengaruh pada deflasi ini meliputi cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, dan daging ayam ras. Di sisi lain, komponen inflasi inti mengalami kenaikan 0,16 persen, dengan andil sebesar 0,10 persen terhadap inflasi umum.
Susiwijono menegaskan bahwa inflasi inti yang menjadi cerminan daya beli masyarakat tetap stabil. “Inflasi inti, seperti sektor properti, tetap menunjukkan tren yang baik. Misalnya, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) telah mencapai target 166.000 unit, yang habis dalam waktu dua bulan, menunjukkan daya beli kelas menengah masih terjaga,” jelasnya.
Baca juga: Dukung Kestabilan Ekonomi, Kemenaker Siapkan Skema UMP 2025
Lebih lanjut, indikator ekonomi lain seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga mencatatkan angka yang positif. Pada Agustus 2024, IKK berada di angka 124,4, lebih tinggi dibandingkan 123,4 pada bulan sebelumnya. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan ini didorong oleh optimisme Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), masing-masing sebesar 114,0 dan 134,9.
Meskipun demikian, Susiwijono mengakui bahwa tren deflasi yang berlangsung sejak Mei 2024 menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah. Pemerintah tengah menyiapkan langkah-langkah antisipasi untuk menghadapi situasi ini. “Pemerintah tidak menyepelekan tren ini. Kita akan terus melakukan upaya stabilisasi harga agar tidak berdampak pada daya beli masyarakat di masa mendatang,” ujarnya.
Tren deflasi yang dimulai sejak Mei 2024 ini mencatatkan penurunan bertahap, dengan rincian deflasi 0,03 persen pada Mei, 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, 0,03 persen pada Agustus, dan 0,12 persen pada September.
Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa data deflasi yang dirilis oleh BPS mengacu pada Indeks Harga Konsumen (IHK). Menurutnya, deflasi disebabkan oleh faktor-faktor seperti biaya produksi dan kondisi suplai yang tidak stabil.
“BPS tidak serta-merta mengaitkan data deflasi dengan dugaan penurunan daya beli masyarakat. Diperlukan studi lebih mendalam untuk menyimpulkan apakah ada korelasi antara deflasi dan daya beli masyarakat,” kata Amalia.
Dia juga menambahkan bahwa pihaknya akan terus memantau tren deflasi ini, terutama untuk memastikan apakah deflasi terjadi karena pengaruh penawaran atau adanya kebijakan intervensi pemerintah dalam stabilisasi harga. “Upaya pemerintah dalam menjaga stok barang di pasar tentu akan memengaruhi gerakan harga di tingkat konsumen,” ujarnya.
Sebagai informasi, deflasi adalah penurunan harga-harga barang dan jasa di dalam suatu wilayah. Deflasi bisa terjadi karena berkurangnya jumlah uang yang beredar di masyarakat, sehingga daya beli menurun. Sebaliknya, inflasi adalah kondisi di mana harga-harga barang dan jasa naik akibat meningkatnya jumlah uang beredar.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, yang mengakibatkan kenaikan harga secara berkepanjangan. Contoh inflasi di Indonesia biasanya dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) atau komoditas penting lainnya seperti telur dan cabai.
Dalam situasi saat ini, meskipun tren ini terjadi, pemerintah dan para pelaku ekonomi tetap fokus pada upaya menjaga daya beli masyarakat. Stabilitas harga dan intervensi pemerintah menjadi kunci untuk mengantisipasi dampak negatif dari fluktuasi harga pangan yang terjadi.







