Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sebagian besar barang dan jasa tetap berada di angka 11 persen. Sementara itu, tarif PPN sebesar 12 persen hanya akan diberlakukan untuk barang yang saat ini masuk dalam kategori Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Keputusan ini merespons berbagai spekulasi tentang potensi kenaikan PPN yang semula direncanakan.
Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa pemerintah tetap berkomitmen untuk memberikan berbagai insentif ekonomi yang telah diumumkan sebelumnya. “Seluruh paket stimulus untuk masyarakat dan insentif perpajakan yang diumumkan Menteri Koordinator Perekonomian tanggal 16 Desember 2024 tetap berlaku,” ujar Sri Mulyani melalui unggahan di akun Instagram resminya, @smindrawati, pada Rabu, 1 Januari 2025.
Pada 16 Desember 2024, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan sejumlah kebijakan stimulus ekonomi. Salah satu program utamanya adalah distribusi bantuan beras sebanyak 10 kilogram untuk 16 juta keluarga penerima manfaat. Program ini dijadwalkan berlangsung dari Januari hingga Februari 2025.
Selain itu, pelanggan listrik dengan daya 2.200 VA atau lebih rendah akan mendapatkan diskon sebesar 50 persen selama dua bulan pertama tahun ini. Kebijakan lainnya meliputi perpanjangan masa berlaku tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta pembebasan PPh bagi pelaku usaha dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun.
Baca juga: Wamen BUMN: Perjalanan Jauh Lebih Lancar Berkat Pelayanan Seluruh Pihak
Pemerintah juga memberikan insentif pajak berupa PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) bagi pekerja dengan pendapatan hingga Rp 10 juta per bulan. Tidak hanya itu, sektor padat karya mendapatkan subsidi bunga sebesar 5 persen untuk revitalisasi mesin, serta bantuan jaminan kecelakaan kerja sebesar 50 persen selama enam bulan. Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) juga dipermudah aksesnya, sementara insentif untuk pembelian kendaraan listrik dan rumah turut menjadi bagian dari paket ini.
Meski stimulus ini dirancang untuk meningkatkan daya beli masyarakat, beberapa pengamat ekonomi menyatakan keraguan terkait efektivitasnya. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai bahwa insentif semacam ini hanya memberikan dampak sementara.
“Insentif pemerintah seperti bantuan pangan dan diskon listrik sifatnya hanya temporer, berlangsung dua bulan saja. Sementara itu, pada bulan Maret, masyarakat akan menghadapi periode Ramadan yang secara musiman menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Akibatnya, daya beli masyarakat justru bisa kembali melemah setelah stimulus ini berakhir,” ujar Bhima.
Bhima juga mengingatkan bahwa ketidakpastian ekonomi global dan kenaikan harga barang musiman menjadi tantangan tersendiri. Menurutnya, kebijakan fiskal yang lebih berkelanjutan diperlukan untuk memastikan stabilitas daya beli masyarakat.
Di sisi lain, keputusan untuk mempertahankan tarif PPN di angka 11 persen dianggap sebagai upaya untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun, diskusi mengenai pengaruh kebijakan ini terhadap penerimaan negara terus berlangsung. Sebelumnya, sejumlah pihak mengkhawatirkan bahwa kenaikan PPN hingga 12 persen dapat menurunkan penerimaan pajak akibat penurunan konsumsi.
Dengan mempertahankan tarif PPN pada tingkat yang lebih rendah, pemerintah berharap dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk tetap memenuhi kebutuhan mereka di tengah tekanan ekonomi. Sementara itu, berbagai insentif yang diberikan diharapkan mampu meredam dampak inflasi dan membantu kelompok masyarakat yang paling rentan.
Kebijakan ini mencerminkan langkah hati-hati pemerintah dalam menyeimbangkan kebutuhan penerimaan negara dengan upaya menjaga kesejahteraan masyarakat. Meski demikian, efektivitas dari berbagai stimulus ini tetap menjadi sorotan, terutama dalam konteks tantangan ekonomi yang lebih luas.






