Bankterkini.com – Pemerintah mengambil langkah besar dengan menempatkan dana senilai Rp200 triliun di lima bank pelat merah, yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 276/2025 yang resmi dirilis belum lama ini.
Langkah tersebut menjadi bentuk intervensi fiskal aktif yang bertujuan mengatasi stagnasi pertumbuhan kredit yang masih tertahan di kisaran 7,7 persen. Pemerintah berharap penyaluran dana tersebut dapat memperlancar pembiayaan sektor riil, khususnya pada kegiatan produktif.
Namun, di balik optimisme, muncul pula sejumlah catatan kritis. Pertama, dana tersebut ditempatkan dalam bentuk deposit on call. Skema ini memberi fleksibilitas bagi pemerintah untuk menarik kembali dana sewaktu-waktu. Meski memberi ruang bagi bank, skema ini juga berpotensi menimbulkan guncangan likuiditas jika penarikan dilakukan secara mendadak.
Kedua, hanya bank milik negara yang menerima suntikan dana tanpa melalui mekanisme lelang. Alasan stabilitas memang menjadi pertimbangan utama, mengingat bank-bank tersebut memiliki skala besar dan dikendalikan pemerintah. Namun, kebijakan ini juga memunculkan kekhawatiran terkait keadilan kompetisi dan distribusi likuiditas yang tidak merata di industri perbankan.
Ketiga, bunga yang ditetapkan pemerintah hanya 4,83 persen, jauh di bawah tingkat pasar. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah subsidi implisit ini akan benar-benar diteruskan kepada debitur dalam bentuk bunga kredit lebih rendah, atau justru memperbesar margin keuntungan bank.
Meski begitu, ada pula langkah positif yang menonjol, yakni larangan penggunaan dana untuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN). Aturan ini menunjukkan komitmen pemerintah agar penempatan dana benar-benar disalurkan ke sektor riil, bukan sekadar berputar di instrumen keuangan.
Pengawasan menjadi faktor kunci dalam memastikan kebijakan ini berjalan sesuai rencana. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan akan melakukan pengawasan ketat agar penyaluran dana mencapai sasaran. Tanpa pengawasan yang kuat, ada risiko dana tersebut hanya menambah cadangan likuiditas bank, bukan mendorong kredit baru.
Selain itu, risiko moral hazard juga menjadi perhatian. Jika bank merasa selalu mendapat dukungan pemerintah, hal ini bisa mengurangi disiplin mereka dalam mengelola risiko. Tidak hanya itu, ketidakpastian di sektor riil juga berpotensi menghambat efektivitas kebijakan. Dunia usaha membutuhkan kepastian hukum dan iklim bisnis yang kondusif agar permintaan kredit ikut meningkat.
Pemerintah dituntut mempercepat belanja negara melalui APBN agar likuiditas dapat segera terserap oleh ekonomi. Tanpa percepatan tersebut, penempatan dana ratusan triliun ini berisiko menimbulkan jebakan likuiditas.
Selain itu, aparat penegak hukum diharapkan mampu memberikan kepastian bagi perbankan. Masalah kredit macet yang kerap dikaitkan dengan kerugian negara masih menjadi momok bagi bankir, sehingga menimbulkan keraguan dalam menyalurkan pembiayaan.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini sepenuhnya bergantung pada eksekusi dan koordinasi antara otoritas fiskal, moneter, serta pengawas perbankan. Jika tepat sasaran, suntikan dana Rp200 triliun ini bisa menjadi motor baru bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya beli masyarakat. Namun, jika salah langkah, kebijakan ini bisa berubah menjadi beban fiskal dan distorsi pasar di masa mendatang.








