Jakarta –
Pasca kedatangan Presiden Jokowi dalam acara gabungan relawan Jokowi yang mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Nusantara Bersatu di Gelora Bung Karno, Sabtu (26/11) lalu, perhatian publik terfokus pada pernyataan Jokowi perihal ciri-ciri capres yang layak untuk dipilih pada 2024 yang akan datang.
“Saya ulang, jadi pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari penampilannya, dari kerutan di wajahnya,” ujar Jokowi saat memberikan orasi di hadapan ribuan relawan.
“Lihat juga, lihat rambutnya, wah kalau rambutnya putih semua, nah ini mikir rakyat ini,” tambah Jokowi.
Selain memberikan sambutan di acara Gerakan Nusantara Bersatu, tercatat sudah beberapa kali Presiden Jokowi memberikan sambutan dalam sebuah acara yang menyinggung kriteria capres pilihannya pada 2024. Jejak sinyal dukungan Jokowi terhadap kandidat capres dengan ciri-ciri tertentu pernah pula disampaikannya saat Rekernas Projo di Magelang, HUT ke-58 Partai Golkar, hingga HUT ke-8 Partai Perindo.
Rentetan momen kode-kode ala Jokowi di berbagai acara memantik diskusi yang mendalam terkait bolehkah secara hukum seorang presiden yang masih menjabat memberikan dukungan terhadap capres yang akan berkontestasi?
Sesuai Porsi
Sistem hukum di Indonesia pada dasarnya tidak melarang dukungan yang diberikan oleh presiden, wakil presiden, hingga kepala daerah yang sedang menjabat kepada kandidat capres dan cawapres tertentu. Dukungan secara langsung terhadap kandidat capres dan cawapres dalam kontestasi pemilu memiliki sifat terlarang untuk dilakukan oleh lembaga peradilan, personel BPK, personel Bank Indonesia, personel BUMN/BUMD, pejabat negara non-struktural, ASN, TNI, Polri, dan perangkat desa.
Kendati tidak dilarang menurut hukum, dukung-mendukung kandidat capres dan cawapres perlu diletakkan sesuai porsinya. Adapun ketika kandidat telah terdaftar sebagai capres dan cawapres pada penyelenggaraan pemilu, maka segala bentuk endorsement dalam rupa orasi, pidato, ataupun diskusi publik dapat dinilai sebagai bentuk kampanye terhadap kandidat yang didukung oleh pembicaranya.
Pada ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan merupakan bentuk pelanggaran kampanye. Oleh karena itu, keberadaan presiden sebagai kepala pemerintahan patut untuk memperhatikan segala bentuk narasi yang hendak diucapkan ketika memberikan sambutan di hadapan publik.
Dengan menyinggung terkait dukungan terhadap kandidat capres dalam forum resmi pemerintah, presiden dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran kampanye berupa penggunaan fasilitas pemerintah untuk mengkampanyekan kandidat capres atau cawapres tertentu.
Etika Demokrasi
Melampaui hukum formal dan pengaturan terkait kepemiluan dalam undang-undang, terdapat nilai-nilai kepatutan di dalam etika demokrasi yang perlu untuk diperhatikan oleh semua pihak. Etika demokrasi inilah yang akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju kedewasaan dan kematangan dalam berdemokrasi.
Presiden sebagai pejabat publik dan mandataris rakyat melalui proses pemilu sudah sepantasnya untuk tidak menggiring dukungan publik untuk memilih Capres dan Cawapres tertentu pada pemilu berikutnya. Sama seperti proses pemilu sebelumnya yang tanpa intervensi dan tanpa penggiringan melahirkan presiden pilihan rakyat, sudah seyogianya proses pemilu selanjutnya berjalan tanpa intervensi presiden pendahulu agar lahir presiden baru yang memiliki legitimasi demokrasi yang kuat dari rakyat.
Aloysius Eka Kurnia, S.H, M.H dosen Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
(mmu/mmu)