Jakarta –
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membantah adanya jebakan utang alias hidden debt di proyek infrastruktur China, termasuk di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Ia menegaskan semua pinjaman yang dilakukan untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah untuk kebutuhan produktif. Utang pun dilakukan secara business to business alias antar perusahaan bukan antar pemerintah.
“Itu adalah utang produktif. Ada yang bilang hidden debt. Itu yang bilang hidden debt saya text, kau datang kemari tunjukin hidden debt-nya di mana. Wong saya yang nangani kok. Hidden debt kalau dibilang G to G, ini tidak ada. Itu B to B,” ungkap Luhut dalam Seminar Nasional Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL) yang disiarkan virtual melalui YouTube, Rabu (25/5/2022).
Masalah hidden debt ini muncul dari laporan lembaga riset AidData berjudul ‘Banking on the Belt and Road: Insight from a new global dataset of 13,427 Chinese Development Projects’. Pinjaman yang disalurkan China itu bertujuan untuk pembangunan jalur sutera melalui Belt and Road Initiative (BRI) yang selama ini dilakukan di banyak negara. Salah satunya untuk Indonesia. Di Indonesia dana tersebut digunakan salah satunya untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Luhut menjelaskan memang ada pembengkakan biaya, namun hal itu bukan masalah lagi. Semua sudah diselesaikan. Di sisi lain, proyek ini pun sudah berjalan kembali dan bakal bisa dicoba di bulan November 2022.
“Bahwa ada overrun cost, ya it happens, tapi nggak perlu cari salah siapa tapi sudah selesai. Tertunda berapa bulan pembangunnya kereta api cepat Jakarta Bandung, itu akan dimulai dan make test bulan November tahun ini,” jelas Luhut.
Sebelumnya, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) I Kartika Wirjoatmodjo juga sudah buka suara mengenai jebakan utang ini.
Dia mengungkapkan jika pembangunan kereta cepat ini bukanlah utang negara, melainkan korporasi langsung yaitu ke PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIS). Skema utang menggunakan business to business.
“Utang negara dan B to B itu dua kamar berbeda. Untuk utang korporasi dan non bank pasti akan masuk PKLN, tidak mungkin disembunyikan karena memang beda, dan bukan utang negara,” kata Tiko kepada detikcom, Sabtu (16/10/2021).
Tiko menjelaskan untuk utang negara atau pemerintah itu bisa berbentuk penerbitan surat utang atau bonds sampai bilateral. Sangat berbeda dengan utang korporasi atau perusahaan yang menggunakan skema B to B.
“Datanya mesti diklarifikasi (Laporan AidData), mungkin mereka dapat data dari lalu lintas devisa. Karena Indonesia itu nggak ada bilateral dengan China sama sekali. Untuk China Development Bank (CDB) dan KCIC itu komersial murni, jadi tidak tersembunyi,” jelas Tiko.
(eds/eds)