Bankterkini.com – Ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat setelah kedua negara menerapkan kebijakan tarif balasan yang agresif. Pemerintah China resmi menaikkan tarif impor terhadap barang-barang asal AS hingga 84 persen, mulai berlaku 10 April 2025. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya menetapkan tarif impor terhadap produk China sebesar 104 persen.
Kebijakan saling balas ini memicu kekhawatiran luas di pasar keuangan global. Banyak pihak menilai, konflik dagang ini tidak hanya akan memperburuk hubungan dua ekonomi terbesar dunia, tetapi juga menciptakan ketidakpastian di sektor perdagangan internasional. Negara berkembang seperti Indonesia turut merasakan dampaknya, terutama di sektor keuangan dan ekspor komoditas.
Kementerian Perdagangan China sebelumnya menegaskan komitmennya untuk menghadapi segala bentuk tekanan dari AS. Meski belum merinci produk apa saja yang dikenakan tarif baru, sejumlah analis memperkirakan barang-barang strategis dari Amerika akan masuk dalam daftar pembalasan.
Sentimen pasar global pun terdampak. Banyak investor mulai mengambil langkah hati-hati dengan mengalihkan dana ke instrumen investasi yang lebih aman, seperti obligasi pemerintah AS dan emas. Situasi ini berpotensi menekan pasar saham global dan meningkatkan volatilitas di pasar negara berkembang.
Di Indonesia, tekanan tersebut mulai terlihat. Pada 9 April 2025, nilai tukar Rupiah ditutup stagnan di angka Rp16.865 per dolar AS. Namun, secara year-to-date (ytd), Rupiah tercatat melemah 4,74 persen. Imbal hasil surat utang pemerintah Indonesia tenor 10 tahun juga naik 5,5 basis poin menjadi 7,14 persen. Secara keseluruhan, kenaikan sejak awal tahun mencapai 13,8 basis poin.
Sementara itu, di pasar global, indikator US Dollar Index (DXY) tercatat berada di posisi 102,17, melemah 6,32 persen sepanjang tahun berjalan. Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun turun menjadi 4,46 persen, mencerminkan pergeseran minat investor ke aset-aset berisiko rendah.
Ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran atas prospek ekspor Indonesia, terutama pada sektor komoditas. Pelemahan permintaan global yang mungkin terjadi akibat melambatnya ekonomi dua negara adidaya dapat menekan harga komoditas dan berdampak pada penerimaan ekspor nasional.
Para analis menilai bahwa eskalasi konflik dagang AS-China bisa memperburuk arus perdagangan global dan memperlambat pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung. Negara berkembang dengan ketergantungan tinggi pada ekspor, seperti Indonesia, perlu meningkatkan kewaspadaan.
Dalam menghadapi situasi ini, penting bagi pemerintah dan pelaku pasar domestik untuk merumuskan strategi mitigasi. Langkah-langkah antisipatif diperlukan guna menjaga stabilitas ekonomi nasional dan mengurangi dampak dari gejolak eksternal yang tidak menentu.
Pemerintah diharapkan terus memantau perang dagang ini secara ketat dan memperkuat koordinasi kebijakan fiskal dan moneter untuk melindungi kepentingan ekonomi dalam negeri. Dengan pendekatan yang adaptif dan responsif, Indonesia diharapkan mampu menjaga ketahanan ekonominya di tengah tekanan eksternal yang terus berkembang.








