BankTerkini.com – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, mengungkapkan kekhawatirannya terkait proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 yang diperkirakan bisa mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menurutnya, defisit anggaran yang diperkirakan akan mencapai Rp 600 triliun atau hampir 2,8 persen dari PDB ini sangat mengkhawatirkan.
Dalam pernyataannya melalui aplikasi perpesanan, Yusuf menjelaskan bahwa program-program pemerintahan mendatang berpotensi memperbesar defisit anggaran, bahkan melebihi 3 persen dari PDB. “Dengan banyaknya program prioritas pemerintahan Prabowo, termasuk rencana penambahan kementerian dan kemungkinan perubahan APBN 2025 melalui mekanisme APBN-P, maka peluang defisit anggaran menembus 3 persen dari PDB itu besar,” kata Yusuf, sebagaimana dikutip oleh Tempo.
Yusuf menguraikan bahwa defisit anggaran selalu muncul sebagai hasil kombinasi dari dua faktor utama. Pertama, rendahnya penerimaan negara, khususnya dari pendapatan perpajakan. Kedua, ketidakmampuan pemerintah dalam menekan belanja negara. Pada 2023, tax ratio atau rasio pajak hanya diproyeksikan berada di kisaran 10,2 persen dari PDB, hampir tidak ada peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang juga tercatat 10,2 persen dari PDB. “Angka ini bahkan lebih rendah dari tax ratio 2022 yang sempat mencapai 10,4 persen, karena terbantu oleh boom komoditas global. Tax ratio 2025 ditargetkan hanya di kisaran 10,3 persen dari PDB, tidak banyak berbeda dari tahun sebelumnya,” ujar Yusuf.
Di sisi lain, beban belanja negara terikat tidak pernah mampu diturunkan. Yusuf mencontohkan belanja pegawai, belanja barang, serta transfer ke daerah sebagai komponen belanja yang selalu mengambil porsi dominan dibandingkan belanja modal dan belanja sosial. Menurutnya, determinan yang semakin dominan pada defisit anggaran yang terus meningkat dalam dekade terakhir adalah stok utang pemerintah serta beban bunganya yang terus bertambah. “Tumpukan utang yang kini menggunung telah menyebabkan beban utang yang sangat besar, yaitu bunga utang,” tambah Yusuf.
Menurut Yusuf, pembuatan utang baru dan kenaikan stok utang pemerintah kini tidak lagi hanya sebagai fungsi dari defisit anggaran, tetapi juga sebagai fungsi dari stok utang itu sendiri. Hal ini terlihat dari besaran utang baru yang berkorelasi sangat kuat dengan jumlah cicilan pokok utang dan bunga utang. Yusuf merinci bahwa besaran pembuatan utang baru oleh pemerintah terus meningkat drastis dari waktu ke waktu, terutama melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penerbitan SBN dari Rp 32,3 triliun pada 2004 melonjak hingga mencapai Rp 439 triliun pada 2014. Kemudian, di era Presiden Joko Widodo, penerbitan SBN melambung tinggi dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp 922 triliun pada 2019. Pada masa pandemi, penerbitan SBN melonjak menembus Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021. Pasca pandemi, penerbitan SBN mulai menurun meski masih sangat tinggi, tercatat Rp 1.097 triliun pada 2022.
Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN berada di kisaran Rp 300 triliun. Pada 2019, angkanya melonjak menembus Rp 700 triliun. Pasca pandemi yaitu pada 2021, angkanya mencapai Rp 800 triliun. Pada 2022, jumlah SBN jatuh tempo dan beban bunga SBN diperkirakan turun menjadi Rp 500 triliun. Namun pada 2023, jumlahnya diproyeksikan melonjak mendekati Rp 1.000 triliun dan pada 2024 di kisaran Rp 1.100 triliun.
“Dengan kata lain, kita sudah masuk dalam jebakan utang, berutang untuk bayar utang,” tegas Yusuf. Situasi ini mencerminkan kondisi ekonomi yang cukup genting, di mana peningkatan utang dan bunga utang dapat mengancam stabilitas ekonomi negara.
Pernyataan Yusuf Wibisono menyoroti betapa seriusnya ancaman pembengkakan defisit APBN 2025 bagi perekonomian Indonesia. Penerimaan negara yang stagnan dan beban belanja yang tinggi menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh pemerintahan mendatang. Dengan demikian, langkah-langkah strategis perlu segera diambil untuk mengelola utang dan mengoptimalkan pendapatan negara demi menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di masa depan.
Baca juga: IHSG Kembali Terperosok, Investor Asing Jual Saham Besar-Besaran
Sumber: Tempo