Pemerintah Indonesia tengah berurusan dengan putusan arbitrase terkait pengadaan satelit untuk slot orbit 123 derajat bujur timur. Pakar hukum internasional Prof Hikmahanto Juwana pun memberikan saran.
Perkara pertama ialah pengadaan satelit yang bersifat sementara dengan tujuan Indonesia tidak kehilangan Slot Orbit 123 Derajat Bujur Timur setelah Satelit Garuda-1 tak berfungsi. Pihak penyedia satelit adalah Avanti Communication Limited.
“Di kasus pertama ini, Kementerian Pertahanan (Kemhan) digugat atas dasar kekurangan pembayaran sewa di arbitrase yang berkedudukan di London,” kata Hikmahanto kepada wartawan, Senin (17/1/2022).
Perkara kedua adalah pengadaan satelit yang sebenarnya untuk mengisi Slot Orbit 123 Derajat Bujur Timur secara permanen dengan penyedia satelit adalah Navayo, Airbus, Detente, Hogan, Lovel, dan Telesa. Di kasus kedua ini, Kemhan digugat karena wanprestasi atas kontrak di arbitrase yang berkedudukan di Singapura.
“Untuk dua kasus yang sama-sama telah diputus, baik di London maupun Singapura, maka ada dua upaya hukum yang bisa dilakukan,” kata Hikmahanto.
Saran Hikmahanto
Strategi pertama yang disarankan Hikmahanto adalah mengenai pembatalan putusan arbitrase. Bagaimana?
“Inti dari proses hukum ini bukanlah banding sehingga tidak mempermasalahkan substansi yang diperkarakan. Proses hukum ini terkait dengan prosedural dalam berarbitrase. Upaya hukum ini harus dilakukan di pengadilan di mana putusan arbitrase diputus. Jika arbitrase diputus di London maka harus diajukan ke Pengadilan London. Alasan untuk membatalkan pun harus berdasarkan hukum Inggris,” kata Hikmahanto.
“Namun karena putusan telah dijatuhkan di tahun 2018 menjadi permasalahan apakah hukum Inggris memungkinkan untuk melakukan proses pembatalan saat ini. Demikian pula bila putusan arbitrase dijatuhkan di Singapura. Hal ini masih memungkinkan mengingat putusan dijatuhkan pada bulan Mei 2021. Bila pengadilan memutus bahwa putusan arbitrase dibatalkan maka konsekuensinya adalah proses arbitrase harus diulang. Terhadap putusan arbitrase yang telah dibuat maka konsekuensinya tidak dapat diminta untuk dipaksakan oleh pengadilan negara mana pun,” imbuhnya.
Langkah kedua yang disarankan Hikmahanto adalah penolakan melaksanakan putusan arbitrase. Penolakan ini dilakukan oleh pengadilan tempat aset pihak yang kalah berada.
“Untuk diketahui dalam perkara perdata, baik di pengadilan maupun arbitrase, sebuah putusan hanya memiliki makna menang di atas kertas. Dalam perkara pengadaan satelit untuk Slot Orbit 123 bila Kemhan tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela maka pihak penyedia satelit akan meminta pengadilan dimana Kemhan memiliki aset untuk melakukan eksekusi,” ucap Hikmahanto.
“Secara logika pihak-pihak yang menang perkara akan membawa putusan arbitrase tersebut ke Pengadilan Indonesia. Dalam konteks ini mungkin proses tindak pidana korupsi di Indonesia dimulai. Strateginya adalah Pengadilan Indonesia akan menolak putusan arbitrase yang diminta untuk dilaksanakan karena terindikasi korupsi. Strategi seperti ini bisa saja berhasil atas dasar putusan yang hendak dieksekusi melanggar ketertiban umum di Indonesia,” imbuhnya.
Simak video ‘Kejagung Belum Periksa Eks Menhan Ryamizard di Kasus Satelit Kemhan’:
Baca berita selengkapnya di halaman berikutnya.