Bankterkini.com – Bank Dunia memperkirakan rasio penerimaan Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) akan mengalami penurunan signifikan pada tahun 2025. Dalam laporan berjudul Macro Poverty Outlook yang dirilis pada 4 April 2025, lembaga keuangan internasional itu mengungkapkan kekhawatiran atas kondisi fiskal Indonesia yang dinilai semakin tertekan, di tengah tren kenaikan utang negara.
Laporan tersebut mencatat bahwa rasio penerimaan negara Indonesia pada 2024 berada di angka 12,7 persen terhadap PDB. Angka ini menjadi yang terendah di antara negara-negara dengan pendapatan menengah. Bahkan, Bank Dunia memperingatkan bahwa rasio tersebut diperkirakan turun lebih jauh menjadi 11,9 persen pada tahun 2025, jauh di bawah target pemerintah yang tercantum dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 12,3 persen.
Salah satu penyebab rendahnya penerimaan negara, menurut Bank Dunia, adalah kehilangan potensi penerimaan pajak. Pada 2024, sekitar 6,4 persen dari PDB yang seharusnya menjadi pendapatan pajak tidak berhasil dikumpulkan. Kondisi ini mencerminkan tantangan serius dalam sistem perpajakan nasional, terutama dalam hal kepatuhan dan efisiensi pengumpulan pajak.
Di sisi lain, rasio utang pemerintah juga menunjukkan tren peningkatan. Bank Dunia memperkirakan rasio utang terhadap PDB Indonesia akan mencapai 40,1 persen pada 2025. Ini lebih tinggi dari posisi 2024 yang berada di angka 39,2 persen. Tren tersebut diprediksi berlanjut, dengan rasio utang meningkat menjadi 40,8 persen pada 2026 dan menyentuh 41,4 persen pada 2027.
Prediksi ini berpotensi bertolak belakang dengan target jangka menengah pemerintah. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah menargetkan rasio utang sebesar 39,15 persen pada 2025 dan mempertahankannya di bawah 40 persen hingga akhir periode, dengan proyeksi berkisar antara 39,01 hingga 39,10 persen pada 2029.
Ketidaksesuaian antara proyeksi lembaga internasional dan target nasional menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas kebijakan fiskal dan strategi pengelolaan utang pemerintah ke depan. Kenaikan utang yang tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan dapat mempersempit ruang fiskal dan membatasi kemampuan negara dalam membiayai program pembangunan.
Bank Dunia memperkirakan rasio penerimaan Indonesia baru akan kembali mencapai 12,3 persen pada 2026, dan meningkat tipis menjadi 12,4 persen di tahun berikutnya. Proyeksi ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan penerimaan negara diperkirakan berjalan lambat.
Di tengah tekanan tersebut, pemerintah diharapkan mampu merumuskan strategi fiskal yang lebih adaptif. Reformasi perpajakan, pengendalian belanja, serta peningkatan efisiensi anggaran menjadi elemen krusial untuk menjaga stabilitas fiskal dan keberlanjutan pembangunan nasional.
Dengan dinamika tersebut, pengawasan terhadap kebijakan fiskal dan utang publik akan menjadi perhatian utama berbagai pemangku kepentingan dalam beberapa tahun ke depan. Pemerintah ditantang untuk menjaga kredibilitas fiskal sekaligus menjamin perlindungan terhadap kelompok masyarakat rentan di tengah risiko perlambatan ekonomi global.








