Jakarta –
BP Tapera mengumumkan hasil realisasi penyaluran KPR bersubsidi dengan skema FLPP masih dikuasai oleh PT Bank Tabungan Negara Persero Tbk (BTN) hingga Mei 2022. Dari jumlah realisasi penyaluran KPR FLPP hingga 23 Mei 2022 yang mencapai 73.189unit senilai Rp 8,13 triliun, Bank BTN mengambil porsi yang terbesar atau mencapai 56,09%.
Posisi kedua dikuasai oleh BTN Syariah yang mencapai 11,38%. Sementara PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) yang dikabarkan bakal mencaplok BTN Syariah hanya berhasil menguasai 2,78%. Bahkan BSI juga masih kalah oleh BJB yang menguasai 4,11%.
Jika dilihat dari sisi aset dan kemampuan keuangan, seharusnya porsi BSI dalam penyaluran KPR FLPP bisa lebih besar dari BTN Syariah, namun karena BTN Syariah lebih concern dan fokus pada pembiayaan rumah rakyat meski marginnya lebih kecil membuat BTN syariah lebih unggul dari BSI.
Ketua PP Muhammadiyah Anwar abbas juga menilai dari sisi penyaluran kredit ke pengusaha UMKM. Menurutnya BTN Syariah yang masih kecil saat ini memiliki fungsi besar dalam menyediakan pinjaman untuk pelaku UMKM.
Menurut sosok yang juga menjabata sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, jika BTN Syariah kembali digabungkan ke dalam BSI fungsi tersebut akan tidak optimal. Sebab otomatis BTN Syariah akan tergabung dalam model bisnsi bank besar yang pembiayaannya akan lebih banyak ke pengusaha besar.
“Bila BTN Syariah diakuisisi oleh BSI maka harapan kita untuk mendorong pengusaha kelas bawah yaitu usaha ultra mikro dan mikro untuk naik kelas ke kelas menengah tentu secara teoritis akan menjadi sulit karena BSI nya akan lebih bias kepada usaha besar dan menengah,” tuturnya.
Anwar mencontohkan lahirnya BSI yang berasal dari merger 3 bank BUMN syariah. Sebelumnya 3 bank tersebut cenderung menyalurkan kredit untuk usaha kecil dan menengah. Menurutnya fungsi tersebutlah yang dibutuhkan oleh umat Islam saat ini.
“Saya adalah orang yang tidak setuju dengan di mergernya 3 bank syariah. Kalau dia tidak di merger maka berarti 3 bank itu akan tetap menjadi bank kecil. Kalau dia bank kecil tentu dia hanya akan mampu membiayai usaha-usaha kecil. Tapi kalau dia di merger maka tentu dia akan menjadi bank besar,” terangnya.
“Kalau dia sudah menjadi bank besar maka tentu usaha yang akan dia biayai juga usaha2 besar sehingga dengan demikian akhirnya bank syariah tersebut akan lebih banyak dirasakan oleh usaha-usaha besar ( 0,01%) dan menengah (0,09%) dan akan sangat sedikit sekali kepada usaha kecil (1,22%). Apalagi usaha-usaha yang masuk kategori mikro dan ultra mikro, padahal jumlah pelaku usaha mikro dan ultra mikro tersebut sekitar 98,68% dari seluruh pelaku usaha,” tambahnya.
Dengan begitu, lanjut Anwar, maka sebenarnya yang dijamah oleh bank besar hanya sekitar 1,32 % dari total pelaku usaha yang ada di tanah air. Dia menilai justru hal tersebut tidak sehat bagi perkembangan perekonomian nasional.
(dna/dna)