BankTerkini.com – Pasar surat utang negara mengalami tekanan signifikan pada pembukaan pasar pagi ini, yang berdampak pada pelemahan nilai rupiah menjadi yang terdalam di Asia. Hampir semua tenor Surat Berharga Negara (SBN) mencatat kenaikan imbal hasil, terutama tenor 2 tahun (2Y), 5 tahun (5Y), dan 10 tahun (10Y). Menurut data realtime Bloomberg, imbal hasil SBN-2Y naik menjadi 6,8%, SBN-5Y meningkat menjadi 6,821%, dan SBN-10Y mencapai 6,99%, naik sebesar 1 basis poin (bps).
Tekanan pada pasar surat utang negara turut menyeret nilai tukar rupiah. Rupiah melemah 0,26% menjadi Rp16.293 per dolar AS, menjadikannya mata uang dengan penurunan terdalam di Asia pagi ini, bersaing dengan won Korea.
Di sisi lain, investor di pasar saham terlihat tidak terpengaruh oleh sentimen global. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru menguat 0,60% menjadi 7.281, meskipun pergerakan bursa saham di Asia cenderung bervariasi. IHSG menguat seiring dengan bursa saham Jepang, Shenzen China, dan Kospi Korea. Bursa saham Vietnam dan indeks PSEi Filipina juga mengalami penguatan. Sebaliknya, bursa saham Malaysia dan Thailand mengalami tekanan.
Tekanan yang dialami pasar surat utang Indonesia kemungkinan dipicu oleh mengempisnya optimisme pasar terhadap penurunan suku bunga Federal Reserve. Pertumbuhan ekonomi AS yang masih kuat pada kuartal II-2024 memicu kekhawatiran bahwa inflasi di AS masih sulit ditekan, membatasi ruang bagi The Fed untuk memulai pelonggaran moneter.
Kondisi ini juga mengurangi peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan, yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan The Fed. Akibatnya, surat utang Indonesia semakin tertekan.
Premi risiko investasi Indonesia naik dua hari berturut-turut dan pagi ini bertahan di kisaran 76,1, sedikit turun dari sebelumnya 77. Pada 23 Juli lalu, investor asing menjual surat utang Indonesia senilai US$172,4 juta atau sekitar Rp2,81 triliun, menjadi penjualan terbesar dalam sehari sejak 20 Juni.
Baca juga: Bagikan Sertifikat Tanah, Jokowi: Bisa ‘Disekolahkan’, Tapi Hati-hati
Optimisme terkait prospek penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh langkah The Fed, ternyata hanya berdampak terbatas pada harga obligasi negara jangka pendek. Peningkatan pasokan SRBI juga melemahkan dampak penurunan suku bunga acuan terhadap yield SBN tenor pendek.
Sejauh ini, Bank Indonesia telah menjual SRBI senilai Rp800 triliun atau sekitar US$49 miliar yang menawarkan imbal hasil jauh lebih tinggi dibanding SBN dengan tenor setara. Investor asing menguasai sekitar Rp130 triliun SRBI per akhir Juni.
Pada lelang terakhir, bunga SRBI tenor 12 bulan ditetapkan di level 7,23%, meski menurun dari 7,53% pada awal Juli. Namun, tingkat bunga SRBI ini masih jauh melampaui imbal hasil SBN tenor pendek. Pagi ini, SBN-1Y berada di level 6,64%, sementara seri SPN dengan tenor 3 bulan dan 6 bulan masing-masing ditetapkan di level 6,45% dan 6,72%.
Menurut Francis Cheung, Head of Forex Strategist and Rate di OCBC Singapura, arus masuk modal ke SRBI telah membatasi ruang penurunan yield obligasi negara. Meski ada peluang Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps tahun ini, investor tetap enggan masuk ke obligasi negara jangka pendek.
Obligasi jangka pendek biasanya lebih sensitif terhadap ekspektasi suku bunga acuan. Namun, dengan imbal hasil SRBI yang masih lebih tinggi, investor terlihat lebih tertarik pada instrumen moneter tersebut. Bank Indonesia dalam pernyataan terakhir menyatakan bahwa ruang penurunan suku bunga acuan kemungkinan terbuka pada kuartal IV-2024, yang bisa mendorong harga surat utang. Namun, dengan SRBI yang masih menarik bagi investor, obligasi negara jangka pendek belum mampu menarik minat yang signifikan.
Tekanan pada pasar surat utang negara dan pelemahan nilai tukar rupiah mencerminkan dinamika ekonomi global yang mempengaruhi pasar domestik. Kebijakan moneter dari bank sentral besar seperti Federal Reserve terus menjadi faktor penting dalam menentukan arah pasar. Di tengah ketidakpastian ini, investor perlu mencermati perkembangan lebih lanjut untuk mengambil keputusan investasi yang tepat.
Sumber: Bloomberg Technoz.