Bankterkini.com – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyadari adanya ketidakseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi dalam peraturan terkait rokok. Hal ini tercermin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang sedang dibahas. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, menilai kebijakan ini berisiko menimbulkan dampak besar bagi sektor tenaga kerja, terutama di industri tembakau.
Indah menyebutkan, kebijakan tersebut berpotensi menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan. Berdasarkan data Kemnaker, hingga saat ini sudah ada 63.000 pekerja yang terdampak PHK, dan angka ini bisa melonjak hingga 2,2 juta orang jika kebijakan diterapkan dengan ketat. “Ini bukan hanya soal cukai, tetapi juga dampaknya terhadap tenaga kerja di industri tembakau, termasuk industri kreatif yang mendukung ekonomi lokal,” ujar Indah pada Selasa (19/11/2024).
Ia juga menyoroti dampak sosial yang dapat timbul akibat PHK massal, yang berpotensi memicu meningkatnya angka kriminalitas dan ketegangan sosial lainnya. “Efek berganda dari PHK ini sangat besar, mulai dari tukang ojek hingga warung kopi bisa terdampak,” tambahnya. Menanggapi hal ini, Indah berharap agar pemerintah dan DPR berperan aktif dalam mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul. Kemnaker pun siap berdiskusi dengan Kemenkes, dengan harapan agar Rancangan Permenkes benar-benar mempertimbangkan masukan dari semua pemangku kepentingan.
Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, mengkritik kurangnya keterlibatan industri tembakau dalam penyusunan kebijakan ini. Ia menilai bahwa rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Permenkes dirancang secara tidak transparan. Menurutnya, pihak industri tembakau tidak diajak berbicara mengenai kebijakan tersebut, padahal data terkait industri tembakau dan prevalensi perokok anak menunjukkan tren yang positif, yaitu penurunan jumlah pabrik rokok.
Baca juga: Indonesia Jajaki Keanggotaan BRICS, Menlu RI Tegaskan Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Henry juga mempertanyakan validitas data yang digunakan Kemenkes dalam merumuskan kebijakan tersebut. “Jumlah pabrik rokok semakin menurun dan prevalensi perokok anak sudah turun, tetapi data ini tidak digunakan oleh Kemenkes,” ungkapnya. Selain itu, ia menilai bahwa pengawasan terhadap kebijakan kemasan rokok tanpa merek di lapangan akan sangat sulit dilakukan, yang justru akan menambah beban aparat pengawas.
Anggota Komisi IX, Nurhadi, turut mengungkapkan keprihatinannya atas tidak dilibatkannya pihak industri tembakau dan Kemnaker dalam proses perumusan Rancangan Permenkes. Ia merasa terkejut karena pembahasan kebijakan tersebut tidak melibatkan pihak yang terlibat langsung dengan dampak kebijakan tersebut. “Ini menunjukkan bahwa Kemenkes seolah bekerja sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap tenaga kerja,” ujar Nurhadi. Ia juga menekankan bahwa Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, sebelumnya telah menyatakan bahwa Rancangan Permenkes akan ditunda, namun kegaduhan mengenai kebijakan ini masih terjadi.
Nurhadi mendesak agar Kemenkes segera mengklarifikasi masalah ini, agar keputusan mengenai kebijakan rokok dapat dipertimbangkan dengan matang dan melibatkan semua pihak terkait.