Jakarta –
Pandemi COVID-19 di Indonesia memberikan dampak berbagai sektor baik itu di kota maupun di desa. Bahkan menurut data Kemendes PDTT menyebutkan, per September 2021, dari 57 ribu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), 15 ribu dia ntaranya atau 30 persennya terpaksa harus tutup. Imbasnya, sebanyak 170 ribu pegawai BUMDes harus dirumahkan.
“Pandemi ini mempengaruhi desa. Jadi memang di awal pandemi melihat. Tak hanya BUMDes tapi masyarakat sendiri juga terpengaruh,” kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekonomi dan Investasi Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Kemendes PDTT Harlina Sulistyorini saat hadir di acara Bincang Desa BRILian, Selasa (14/12/2021).
Harlina Sulistyorini, untuk membantu desa menghadapi masalah pandemi COVID-19 sejumlah regulasi pun dikeluarkan seperti penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ia menambahkan dana tersebut dipergunakan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat desa. Serta dana tersebut bisa digunakan untuk program Padat Karya Tunai Desa (PKTD) agar mampu memberikan pekerjaan bagi masyarakat desa yang terdampak pandemi COVID-19.
Tak hanya itu, alokasi dana desa pun juga dikucurkan untuk melakukan pemulihan ekonomi skala desa. Bahkan pihaknya sudah menyiapkan dana desa 2022 sebesar Rp 68 triliun yang nantinya akan disebar ke 74 ribu desa di Indonesia.
“Dana Desa untuk BLT ini mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) 104/2021 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2022,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Kepala Desa Penggarit Kecamatan Taman, Pemalang, Jawa Tengah, Imam Wibowo juga mengatakan hal serupa. Warga desanya tidak sedikit yang merasakan dampak negatif dari Pandemi COVID-19. Bahkan, sekitar 50 kepala keluarga yang bergantung pada sektor pariwisata desa mengalami dampak dari wabah tersebut.
“Sangat parah. Hampir semua sektor kecil terdampak. Terutama pariwisata Bumdes. Ada sekitar 50 kepala keluarga berdagang di pariwisata. Hampir selama kurun waktu 1 tahun tidak ada pemasukan,” kata Imam.
Meskipun begitu, berbagai langkah pun coba dilakukan oleh masyarakat Desa Penggarit untuk mampu bertahan di masa Pandemi COVID-19. Salah satunya dengan mengadakan musyawarah desa yang melahirkan sejumlah kesepakatan yakni penerima bantuan hanya bagi mereka yang terdampak Pandemi COVID-19. Tak hanya itu, desanya pun turut memanfaatkan budaya lokal untuk membantu mereka yang terdampak.
“Budaya gotong royong di desa kami ini selalu dikedepankan sehingga dapat membantu para pelaku usaha yang terdampak,” ujarnya.
Dalam diskusi Bincang Desa BRILIan yang dihadiri oleh sejumlah tokoh dan kepala desa, juga terungkap bahwa tidak semua desa merasakan dampak negatif dari pandemi COVID-19. Bahkan, tidak sedikit mereka yang justru tumbuh di masa pandemi COVID-19.
Salah satunya Desa Talok Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kepala Desa Talok Agus Harianto mengatakan daerahnya mampu tumbuh dengan terus berinovasi. Bahkan desa tersebut, sukses membuat aplikasi MyTalok dan TalokGo untuk membantu meningkatkan sektor ekonomi di desanya hingga sekitarnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Desa Tebara Marten Ragowino Bira. Menurutnya untuk mengetahui dampak pandemi terhadap desa harus dilihat secara objektif.
“Desa terdampak pandemi bisa iya bisa tidak,” jelasnya.
Jika dilihat dari sektor pariwisata, ia mengakui memang merasakan dampak Pandemi COVID-19. Namun, untuk sektor lainnya belum tentu.
Melalui dua sektor tersebut, desanya mampu membangun tiga unit usaha saat pandemi yakni lumbung desa, toko grosir, dan pasar desa.
“Nelayanan, tani, dan ternak membuat desa kami kuat,” katanya.
Senada dengan itu, Kepala Desa (Kades) Klangon, Saradan, Madiun Didik Kuswandi mengatakan sektor pertanian juga membantu Desa Klangon bertahan di masa Pandemi COVID-19.
“Sebenarnya pandemi tidak berpengaruh terhadap kami karena 100% warga desa kami petani,” Didik Kuswandi.
Ia mengatakan, ada banyak komoditi pertanian yang ditanam oleh warga desa, seperti alpukat, jeruk, dan porang. Untuk porang sendiri, bukan hal baru masyarakat menanam komoditi tersebut. Sudah sejak dulu warga desa menanam tanaman yang sedang naik daun tersebut.
“Memulai menanam ini atas dasar kami cinta pada alam. 100% warga kami menanam porang sudah sejak tahun 80an dan sudah ekspor,” katanya.
Ia juga mengatakan, pandemi harusnya menjadi sebuah pelajaran agar potensi-potensi seperti sektor pertanian kembali diangkat.
“Corona ini mengajarkan kita apa potensi desa yang bisa dikembangkan,”
Sementara itu, Direktur Bisnis Mikro Supari juga mengakui desa memiliki potensi yang besar dalam menggerakkan roda perekonomian. Hal tersebut terlihat dari pencarian kredit mikro yang ada di desa hampir Rp 17 triliun dari Rp 22 triliun itu cair.
Data BRI setiap bulan selama pandemi, pencarian kredit mikro itu ada di desa. Hampir Rp 17 triliun dari 22 triliun itu cair di desa, setiap bulan. dan mereka menjangkau hampir 600 ribu masyarakat desa tiap bulan. maka jangan heran kalau pertumbuhan ekonomi masa depan berangkatnya dari desa,” tutup Supari.
“Sementara jika melihat data BRI setiap bulan selama pandemi, pencarian kredit mikro itu ada di desa. Hampir Rp 17 triliun dari 22 triliun itu cair di desa, setiap bulan. dan mereka menjangkau hampir 600 ribu masyarakat desa tiap bulan. Maka jangan heran kalau pertumbuhan ekonomi masa depan berangkatnya dari desa,” tutupnya.
(akn/ega)