Jakarta –
Beberapa waktu lalu, di hadapan para direksi BUMN, Presiden Jokowi mengeluhkan tendensi perilaku BUMN-BUMN yang kurang berhasil dalam melakukan adaptasi bisnis di satu sisi dan sering kali berharap mendapatkan suntikan modal dari pemerintah untuk keberlanjutan bisnisnya di sisi lain. Keluhan Jokowi tersebut justru disampaikan beberapa hari setelah pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang memberi jaminan suntikan modal negara kepada gabungan BUMN penyelenggara kerja sama investasi kereta cepat Jakarta-Bandung dengan beberapa BUMN China.
Boleh jadi, keluhan Jokowi bukan saja kepada inefisiensi dan “gagal adaptasi bisnis” yang dialami oleh banyak BUMN secara umum, tapi juga langsung mengarah kepada keputusan pemerintah untuk menjamin ketersediaan modal pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, di mana langkah tersebut sebenarnya kurang disukai oleh Jokowi. Dan karena satu dan lain hal, sebagaimana dugaan saya, Jokowi akhirnya tak kuasa menolak permintaan jaminan ketersediaan tambahan modal dari negara tersebut. Satu dan lain hal itu, boleh jadi beberapa di antaranya adalah karena lemahnya daya tawar pemerintah di satu sisi atau karena sangat kuat dan banyaknya kepentingan di dalamnya, yang (lagi-lagi) boleh jadi berkemampuan menggoyang eksistensi pemerintahan Jokowi jika tidak diikuti.
Mungkin kepentingan jejaring oligarki yang berkolaborasi dengan petinggi BUMN, atau karena tekanan geopolitik yang berpadu dengan kepentingan para oligarki di dalam bisnis kolaborasi beberapa BUMN tersebut, atau karena faktor lainnya, hanya Tuhan dan Jokowi yang mengetahui, sebagaimana juga Tuhan mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di dalam perusahaan penerbangan nasional sekelas Garuda. Perusahaan yang menguasai pasar premium dan selalu jadi mitra strategis perjalanan dinas para pejabat tersebut, mulai dari daerah sampai pusat, justru terkapar dililit utang yang menggurita. Yenny Wahid, beberapa waktu lalu, sempat memberikan sinyal. Katanya, terlalu besar kepentingan yang berlindung di balik bisnis Garuda sehingga menyebabkan perusahaan penerbangan bernama lambang negara tersebut gagal bertransformasi, tanpa berani mengatakan kepentingan siapa atau kelompok mana.
Pemerintahan Indonesia pasca Orde Baru, sebagaimana ditulis oleh Jefrey Winter, memang mengalami transisi model oligarki dari sultanic oligarch yang berhasil dijinakkan Soeharto ke model ruling oligarch yang berkeliaran sesuka hati di dalam sistem ekonomi politik nasional. Pasca Soeharto, oligarki sudah hampir mirip preman pasar berkeliaran di pasaran. Transisi tersebut sebenarnya sangat membahayakan proses demokratisasi di Indonesia karena, sebagaimana ditulis Jefrey Winter, justru menceburkan Indonesia ke dalam criminal democracy alias bukan transisi menuju demokrasi sebagaimana yang dipahami di negara-negara demokrasi liberal-elektoral di Barat.
Jefrey Winter menuliskan pandangannya di dalam buku Oligarch yang terbit pada 2011, dengan berpatokan pada perkembangan ekonomi politik Indonesia dari Soeharto, Gus Dur, Habibie, Megawati, dan SBY. Namun pada 2018 saat John West menerbitkan buku Asian Century on the Knife Edge justru melihat perkembangan oligarki di Indonesia semakin menjadi-jadi. Kini, kata John West, demokrasi Indonesia hanya tersisa sebagai “demokrasi dari beberapa, untuk beberapa, dan oleh beberapa”, bukan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, sebagaimana adagium demokrasi pada umumnya.
Dan, visi reformasi via holdingisasi BUMN ala Jokowi terjebak di dalam konstelasi ekonomi politik yang demikian. Jalan satu-satunya bagi Jokowi untuk memulai reformasi BUMN adalah dengan memutus rantai penghubung kepentingan oligarki ke dunia BUMN. Dengan kata lain, langkah reformasi BUMN di Indonesia akan sangat sulit terjadi selama BUMN-BUMN berada di bawah Kementerian BUMN, meskipun strategi holdongisasi diterapkan dengan teknik-teknik manajemen supermodern sekalipun.
Kementerian BUMN adalah perkara utama yang akan menjegal semua upaya reformasi BUMN hari ini dan ke depan, karena menjadi proksi politik bagi siapapun atau koalisi politik mana pun yang berkuasa. Hanya di Indonesia BUMN-BUMN disubodinasikan di bawah sebuah kementerian, yang notabene kental dengan preferensi dan tendensi politik. Sebut saja Erick Thohir, Menteri BUMN hari ini, atau Rini Soemarsono, Menteri BUMN pendahulunya.
Meskipun keduanya bukanlah politisi aktif, tapi sama-sama bermain dan menebar pengaruh di dalam ranah politik nasional, yang membuat laju reformasi BUMN menjadi bergantung kepada kepentingan-kepentingan politik yang lebih besar yang acapkali tidak sesuai dengan platform reformasi BUMN versi pemerintah. Terbukti pada akhirnya, kementerian BUMN hanya menjadi institusi outsourcing bagi kader partai-partai politik atau sukarelawan politik untuk duduk di jajaran komisaris, bahkan direksi BUMN-BUMN. Tak sedikit di antaranya justru tak berkaitan dengan bidang yang diemban oleh BUMN dan kurang sinkron dengan platform reformasi BUMN yang diinginkan Istana.
Bahkan negara dengan puluhan ribu BUMN sekalipun, seperti China, tidak membuatkan pos kementerian BUMN untuk mereformasi perusahaan-perusahaan negaranya. Di bawah semangat reformis Zhu Rongji (Perdana Menteri 1998-2003) pada 2003, perusahaan-perusahaan negara (bidang industri, perdagangan, konstruksi, telekomunikasi, transportasi, dan lain-lainsselain perbankan) yang tidak diprivatisasi penuh dan yang tidak dilikuidasi, disatukan di bawah sebuah otoritas non politis, the State-Owned Assets Supervision and Administration Commission (SASAC –yang sekarang berbagi peran dengan CIC). Jadi secara institusional, pemilik saham perusahaan-perusahaan negara di China adalah SASAC, yang menjadi perwakilan Kementerian Keuangan China (MOF) dan membawahi BUMN-BUMN China yang telah terholdingisasi.
Dan, khusus untuk China pula, perusahaan negara berkategori perbankan berada di bawah otoritas lainnya, yakni Central Huijin Investment, yang berada di bawah koordinasi Kementerian Keuangan dan People Bank of China (PBOC). Memang, SASAC yang serupa dengan Khazana di Malaysia, berkiblat kepada strukturisasi BUMN ala Singapura, berkat kesuksesan Temasek selama ini, yang langsung berkoordinasi dan menerima instruksi dari Kementerian Keuangan Singapura. Baik SASAC maupun Huijin memang sangat dipengaruhi oleh partai dan pemerintah, mengingat sistem politik China yang berbeda dengan Singapura atau Indonesia. Tapi, upaya China dalam mengkonsolidasikan kepemilikan saham negara di dalam perusahaan-perusahaan negara adalah upaya yang jauh lebih baik ketimbang Indonesia yang langsung menyajikan BUMN di hadapan kepentingan politik partai-partai dan sukarelawan-sukarelawan penguasa via Kementerian BUMN.
Contoh lainnya misalnya Prancis, yang juga memilih langkah mirip dengan Singapura dan China. Prancis mendirikan Government Shareholding Agency (Agence de participation de l’´Etat atau APE) untuk mengurus saham negara di dalam perusahaan-perusahaan berkategori BUMN atau perusahaan yang sebagian kecil sahamnya dimiliki oleh pemerintahan. Pendirian APE, sebagaimana Temasek, adalah sebagai pembatas yang membedakan antara pemerintah sebagai regulator, pemerintah sebagai pemegang saham, dan BUMN sebagai pelaku usaha, di mana APE langsung terasosiasi dengan Kementerian Ekonomi (Ministry of Economy).
Jepang, setelah gelombang privatisasi 1980 dan awal 2000-an, memposisikan BUMN-BUMN langsung di bawah Kementerian Keuangan, yang membentuk satu institusi bernama Fiscal Investment and Loan Program, institusi yang akan menerima keuntungan usaha BUMN atau sebaliknya, menambahkan modal untuk BUMN. Sementara di Norwegia, BUMN-BUMN terkait secara sektoral dengan kementerian yang ada. Misalnya Telenor terkait dengan Kementerian Komunikasi atau perusahaan negara minyak dan gas terkait dengan Kementerian Petrolium, tapi di bawah lembaga audit tersendiri yang mensubmisikan hasil auditnya kepada kementerian sekaligus ke parlemen, yakni The Office of the Auditor General of Norway
Hanya di Brazil yang sedikit memiliki kesamaan dengan Indonesia; Pada 1979 Brazil mendirikan the Secretariat of Control of State-Owned Enterprises (Secretaria de Controle de Empresas Estatais –SEST), tapi bukan berbentuk lembaga kementerian murni. Pada 1999, SEST berubah menjadi Department of Coordination and Control of State-Owned Enterprises (Departamento de Coordenacaoe Controle das Empresas Estatais). Dan, pada 2007, Brazil mendirikan the Interministerial Commission of Corporate Governance and Administration of the Federal Government’s Shareholdings (Comissao Comissao Interministerial de Governanca Corporativae de Administracao de Participacoes Societarias da Uniao) untuk mengoordinasikan implementasi GCG di dalam BUMN Brazil.
Sayangnya, Brazil tak berhasil mereformasi BUMN-nya, layaknya Indonesia. Karena, pertama dan utama sebelum melakukan reformasi BUMN, adalah memisahkan antara pemerintah sebagai regulator, pemerintah sebagai pemegang saham, dengan BUMN sebagai pelaku usaha melalui sebuah lembaga perantara yang biasanya berada di bawah kementerian keuangan atau kementerian ekonomi.
Saat ini, pemerintah sebagai pemegang saham dan pemerintah sebagai regulator berada di bawah satu institusi yang langsung mensubordinasi BUMN, sementara di dalam pemerintahan sendiri terdapat bejibun kepentingan ekonomi politik yang bisa langsung lompat pagar menuju halaman BUMN via kementerian BUMN. Jadi, jika Jokowi dan Erick Thohir memang ingin mereformasi BUMN, maka Erick harus berani mengusulkan kepada Istana agar Kementerian BUMN dieliminasi, lalu menyiapkan sebuah otoritas khusus yang akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan yang selama ini terbukti cenderung jauh dari politik untuk mewakili negara dalam kepemilikan saham-saham di BUMN.
Ronny P Sasmita Direktur EconAct
(mmu/mmu)